Monday, May 29, 2017

Indah Pada Waktunya


Indah namanya , umurnya genap enam tahun. Kulitnya putih dengan rambut hitam tergerai panjang. Indah memang cantik, dan hatinya jauh lebih cantik. Indah dibesarkan dengan kasih sayang, dengan kepercayaan, dan dengan teladan yang baik dari kedua orangtuanya. Bu Mila dan Pak Faisal memang membesarkan Indah dengan penuh kasih sayang namun tidak berlebihan. Sejak kecil Indah dididik untuk memegang teguh komitmen yang dibuat. Janji adalah janji, sebisa mungkin harus ditepati.

Segala sesuatu yang dimulai dengan kebohongan akan berakhir dengan kebohongan. Sesuatu yang dimulai dengan kecurangan akan berakhir dengan kegagalan. Sesuatu yang dimulai dengan kesombongan akan berakhir dengan kehancuran. Sebaliknya sesuatu yang dimulai dengan niat baik dan ketulusan akan berakhir dengan kebahagiaan.



Hari ini Indah ulang tahun, Bu Mila dan Pak Faisal memang tidak pernah merayakan ulang tahun Indah dengan pesta yang mewah. Cukup syukuran kecil-kecilan di rumah. Namun tidak seperti biasanya, kali ini Indah minta hadiah. “Umi, beliin Indah kaus kaki renda ya... punya temen Indah baguuuss deh... ada coraknya...”, ujar indah dengan penuh harap, begitu halus intonasinya sebenarnya Bu Mila tak sanggup menolak, tapi apapun yang terjadi, komitmen harus dipertahankan..


“Boleh, nanti Indah ikut Umi ke Swalayan ya, kita beli disana aja. tapi Indah mesti janji, nggak boleh minta apa-apa lagi.” ujar bu Mila penuh kasih. “Makasi ya Umi, Indah janji nggak akan minta apa-apa lagi, kaus kaki itu sudah cukup buat Indah.”. Sesuai janji, sore itu Bu Mila mengajak Indah ke Swalayan dekat rumah. Nggak perlu waktu lama bagi indah untuk menemukan kaus kakinya. Tapi ceritanya jadi lain saat Indah melihat kalung mutiara plastik di etalase kios asesoris kecantikan.


Kalung itu sungguh menarik, warnanya putih mengkilap seperti kalung mutiara sungguhan. Indah bingung, Ia terlanjur janji tidak akan minta apa-apa lagi. tapi kalung itu begitu menarik baginya. Indah tidak sanggup menahan hasrat untuk memiliki kalung itu. Lidahnya kelu, ia malu, tapi desakan itu kian kuat. akhirnya dengan terbata-bata, Indah berkata “Umi maafin Indah ya.. Indah nggak jadi beli kaus kaki renda, Indah mau kalung itu. tapi kalo nggak boleh, nggak apa-apa Indah nggak maksa, maafin Indah ya Umi, tapi indah mau kalungnya..” ujar Indah.


Sebenarnya Bu Mila bisa saja membelikan keduanya sekaligus, namun Indah tetap harus memegang komitmen yang dibuat. “Indah boleh beli kalungnya, tapi kaus kakinya nggak jadi ya? Karena harganya lebih mahal, Umi akan potong sisanya dari tabungan Indah minggu ini. Gimana, Indah setuju?” . “Setuju Umi, nggak apa-apa deh nggak pake kaus kaki renda juga yang penting pake kalung mutiara, hehe... makasi ya Umi... Umi baik deh...”


Akhirnya Bu Mila membelinya dan Indah segera memakainya. Indah semakin terlihat cantik, wajahnya merona ceria sekali. Kalung itu jadi mainan kesayangan Indah, tiap hari selalu dipakainya. Indah sering cerita pada Bu Mila dan Pak Faisal, betapa sayangnya Ia pada kalung mutiaranya. Tidak terasa sebulan telah berlalu, dan Indah semakin tidak bisa berpisah dengan kalung mutiaranya. Kemanapun Indah pergi, kalung itu selalu menempel di lehernya, membuat Indah semakin tampak cantik dan menggemaskan.


Malam itu seperti biasa, Pak Faisal membacakan dongeng sebelum Indah tidur. menjelang akhir kisahnya, Pak Faisal mengajukan sebuah pertanyaan pada Indah. “Indah..., Indah sayang sama Ayah?” . “Tentu dong yah, Indah sayaaang sama ayah, sama Umi juga... kenapa...?” . “Kalo Indah sayang sama Ayah..., Kalungnya buat Ayah ya...?” . “Ya… Ayah, jangan dong yah... Ayah boleh ambil boneka kancil punya Indah, atau si Twingky... atau si Tweety... tapi jangan kalung ini yah...” ujar Indah memelas. “Ya udah... nggak apa-apa... Ayah ngerti kok” , ujar Pak Faisal bijak.


Esok malamnya, di akhir ceritanya, Pak Faisal kembali mengajukan pertanyaan yang sama pada Indah. “Indah..., Indah sayang sama Ayah?” . “Tentu dong yah, Indah sayaaang sama ayah, sama umi juga… emang kenapa…?”. “Kalo Indah sayang sama Ayah..., Kalungnya buat Ayah ya..?”. “Ya... Ayah, jangan dong yah... Ayah boleh ambil boneka beruang punya Indah, atau si bantal kingkong kesayangan Indah, tapi jangan kalung ini... Indah sayaaang banget sama kalung ini... ” ujar Indah memelas sambil matanya barkaca-kaca. “Ya udah... nggak apa-apa.. Ayah ngerti kok... Indah tidurnya yang lelap ya, tapi jangan kesiangan, bangunnya pagi pagi ya sayang...”ujar Pak Faisal, mencoba mencairkan suasana.


Esok malamnya ketika Pa Faisal masuk kamar Indah, Pa Faisal melihat Indah menangis, tangisan polos anak kecil yang cantik. Siapapun yang mendengarnya, pasti terenyuh hatinya karena Indah memang jarang nangis. Pak Faisal mendekat dan mengusap lembut rambut Indah yang tergerai panjang. Indah berbalik, hingga Pak Faisal dapat melihat raut muka Indah yang sedang menangis. Air matanya menetesi pipi-pipinya yang halus, matanya berkaca-kaca, tangannya yang mungil menggenggam erat kalung mutiaranya. Dengan terbata-bata Indah berkata, “Ayah.. Indah sayaaanng banget sama Ayah.. sama Umi juga.. Indah juga sayang sama kalung ini.. tapi Indah lebih sayang sama ayah dan Umi… jadi… kalung ini buat ayah aja..” ujar Indah disela-sela isak tangisnya.


Melihat ketulusan Indah, Pak Faisal terenyuh hatinya. Sambil tersenyum, ia berkata “Indah… Ayah sama Umi juga sayaang sama Indah, makasih Indah mau ngasih kalungnya ke Ayah. Boleh Ayah ambil kalungnya sekarang..?”. Dengan senyum yang tulus, Indah mengulurkan tangannya.. sambil tersenyum, Indah berkata “Boleh.. Indah ikhlas kok.. lagian kalung ini nggak ada apa-apanya dibandingkan kasih sayang ayah sama umi..” ujar Indah dengan tulus.


Dengan perlahan sambil menatap mata Indah, Pak Faisal mengambil kalung itu dari tangan Indah dan memasukkan kalung itu ke saku celana panjangnya. Kemudian… Pak Faisal merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan kotak kecil berwarna merah dan memberikannya pada Indah. “Makasih Indah, Bapak bangga sama Indah.. sebenarnya bapak mau ngasih hadiah ini sebulan yang lalu.. tapi sepertinya sekaranglah saat yang tepat.. dibuka ya hadiahnya..” Ujar Pak Faisal, setengah berbisik. Dengan cekatan, tangan mungil Indah segera bergerak membuka kotak kecil itu, muka Indah tiba-tiba merona, berwarna merah muda, indaaahh sekali..
ternyata kotak kecil itu berisi…………………… “kalung mutiara yang asli!”.

Sahabat, sedikit renungan yang dapat kita petik dari cerita di atas, terkadang kita terlalu terikat dengan apa yang telah kita capai dan kita inginkan. Entah itu berupa kekayaan, pasangan, atau apapun. Kita selalu merasa berat untuk kehilangan benda atau orang yang sangat kita sayangi. Seperti Indah yang demikian sayangnya pada kalung mutiara imitasi-nya. Namun tahukah sahabat, seperti Pak Faisal, sesungguhnya seperti itulah Allah membimbing kita.

Perjalanan hidup itu ibarat sebuah hari, Dini hari adalah masa dimana lembar baru tercipta, Pagi hari adalah masa kanak-kanak dimana mimpi digantungkan. Siang hari adalah masa dewasa dimana mimpi dikejar dan diraih. Senja hari adalah masa tua dimana mimpi dinikmati, sedangkan malam adalah masa untuk mengakhirinya dengan istirahat panjang.. Sahabat, semoga hidup ini sebaik perjalanan hari-harimu.



Allah tak memberi apa yang kita harapkan, tapi Allah memberi apa yang kita perlukan. Kadang kita sedih, marah dan kecewa. Tapi jauh diatas segalanya, Allah sedang merencanakan yang terindah buat kita.


disadur dari http://kisah-renungan.blogspot.co.id/2012/07/indah-pada-waktunya.html

Tuesday, May 23, 2017

Tugu Nol Kilometer di Pulau Weh (atau We)

Pulau Weh (atau We) adalah pulau vulkanik kecil yang terletak di barat laut Pulau Sumatra, Pulau ini terletak pada Provinsi Aceh dan juga pada Pulau ini terletak Kota Sabang, yang merupakan Kota terbarat dan menjadi batas akhir NKRI. Pulau ini pernah terhubung dengan Pulau Sumatra, namun kemudian terpisah oleh laut setelah meletusnya gunung berapi terakhir kali pada zaman Pleistosen. Pulau ini terletak di Laut Andaman

Ketika menuju Pulau Weh dengan Kapal Cepat

Pulau ini terbentang sepanjang 15 kilometer (10 mil) di ujung paling utara dari Sumatra. Pulau ini hanya pulau kecil dengan luas 156,3 km², tetapi memiliki banyak pegunungan. Puncak tertinggi pulau ini adalah sebuah gunung berapi fumarolik dengan tinggi 617 meter (2024 kaki). Letusan terakhir gunung ini diperkirakan terjadi pada zaman Pleistosen. Sebagai akibat dari letusan ini, sebagian dari gunung ini hancur, terisi dengan laut dan terbentuklah pulau yang terpisah.

Ketika berada di Kota Sabang

Menuju ke pulau identik dengan biaya mahal karena sulitnya transportasi. Tetapi untuk menuju Pulau Weh, Aceh, bujet yang Anda keluarkan tidak begitu besar dan dapat ditekan. Kuncinya cerdas dalam memilih transportasi.

Ketika berada di Tugu Nol Kilometer


Ada dua alternatif menuju Pulau Weh yakni dengan kapal cepat atau kapal lambat (feri). Dalam sehari ada tiga feri yang berlayar dari pelabuhan Ulee-Lheue (Banda Aceh) menuju pelabuhan Balohan (Pulau Weh) yakni pukul 08.00, 11.00, dan 16.00. Untuk kapal cepat yang memakan waktu perjalanan 45 menit,  dalam sehari memiliki dua kali jadwal keberangkatan yakni pukul 08.00 dan 14.30, dengan harga tiket Rp 85.000.

Salah satu titik di Tugu Nol Kilometer

Saat berada di Pulau Weh, kurang mantap jika kaki kita belum mencoba untuk menyentuh batas ujung NKRI yang berada di Pulau tersebut yang dikenal sebagai Titik Nol Kilometer. Di Titik Nol Kilometer kita dapat menemukan Tugu Nol Kilometer.  Walau pemandangannya tidak terlalu spektakuler seperti spot lainnya, tugu nol kilometer memiliki nilai sejarah. Dari segi kepuasan pribadi, rasanya bangga jika sudah bisa sampai di titik nol kilmeter negeri ini. Selembar sertifikat yang menerangkan bahwa kita sudah sampai di ujung barat Indonesia juga bisa didapatkan di lokasi ini. Sertifikat itu dikeluarkan oleh dinas pariwisata kota Sabang. Jika ingin ke tugu nol kilometer di pulau Weh sebaiknya datang menjelang waktunya matahari terbenam karena sunset di tugu nol kilometer Sabang termasuk yang tercantik di tanah air.


Friday, May 12, 2017

RELASI KORUPSI KORPORASI DAN KORUPSI POLITIK: KAJIAN AWAL MELACAK KORUPSI POLITIK DI KORPORASI


PENDAHULUAN
Ada 2 (dua) frasa kunci yang menjadi bagian penting dari tulisan ini, yaitu: Korupsi Politik dan Korupsi Korporasi. Tentu, kedua frasa itu perlu dijelaskan makna operasionalnya tetapi juga akan dilacak, apakah pada keduanya ada relasi sehingga terjadi pertautan satu dan lainnya. Selama ini, ada dugaan, disebagiannya, korupsi korporasi tidak berdiri sendiri, ada “jejak” korupsi politik yang menyertai dan menjadi bagian dari korupsi korporasi. Bagaimana jika terjadi pertautan dan juga konsolidasi kepentingan diantara keduanya, apakah modus operandi operasi makin menjadi “solid” dengan “dampak” yang juga kian besar magnitudenya.

Secara umum, korupsi yang diduga dilakukan korporasi telah dirumuskan di dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Di dalam rumusan pasal pada delik kejahatan yang tersebut di dalam UU Tindak Pidana Korupsi, dimulai dengan menggunakan frasa kata “setiap orang”. Pada frasa kata tersebut, setiap orang dimaknai sebagai orang perseorangan dan juga termasuk korporasi (Pasal 1, Angka 3 UU No. 31 Tahun 1999). Bahkan, di dalam Pasal 1, Angka 1 UU tersebut di atas, juga dirumuskan pengertian dari korporasi, sebagai kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Berdasarkan uraian tersebut, “setiap orang” juga termasu korporasi dapat  dikualifikasi   menjadi subyek dari suatu tindak pidana korupsi. Bahkan, di dalam Pasal 20 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sudah dijelaskan hal ihwal mengenai korupsi yang dilakukan korporasi dan atau pengurusnya.



Ada 3 (tiga) hal menarik berkaitan dengan korupsi korporasi ini bila dikaitkan dengan keinginan KPK untuk membawa kasus korupsi ke depan pengadilan, yaitu: pertama, KPK menyatakan bahwa sebagian besar kasus penyuapan dalam tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi; kedua, tidak ada satu pun korporasi yang dihukum dalam seluruh kasus korupsi yang ditangani KPK yang melibatkan korporasi karena korupsi yang ditangani baru sebatas pribadi atau perorangan; ketiga, kasus korupsi korporasi, disebagiannya, juga melibatkan politisi selain aparatur birokrasi. Pernyataan ini hendak menegaskan, ada kepentingan lain yang potensial bekerja di dalam kasus korupsi korporasi.

Berkaitan dengan pernyataan di dalam butir ketiga di atas, ada suatu pertanyaan yang mengemuka, apakah korupsi politik menjadi sesuatu yang berdiri sendiri atau menjadi bagian dari korupsi lainnya, khususnya korupsi korporasi serta juga punya hubungan dengan kepentingan politik. Pada kenyataan lainnya, ada banyak ditemukan fakta, korupsi juga dilakukan oleh kalangan parlemen yang kerap disebut sebagai politisi, dan korupsi juga dilakukan bersama birokrasi dan korporasi. Itu sebabnya menarik untuk dikaji, adakah pengaruh politik tertentu yang menyebabkan pihak lain menyalahgunakan kewenangan atau perbuatan melawan hukum.

Secara umum, tidak ada satu pun penjelasan normatif yang tersebut dan disediakan oleh suatu peraturan perundangan yang dapat menjelaskan pengertian korupsi politik. Artidjo Alkostar, Hakim di Mahkamah Agung, mencoba melakukan “ijtihad hukum” dengan merumuskan korupsi politik melalui berbagai pertimbangan hukum di dalam kasus-kasus yang diputuskannya, khususnya pada kasus-kasus korupsi diajukan kasasi ke Mahkamh Agung. Misalnya saja, di dalam kasus Rina Iriani Sri Ratnaningsih, mantan Bupati Karanganyar, dihukum lebih tinggi dari tuntutan Penuntut Umum. Salah satu alasan dalam pertimbangan hukum yang dirumuskan oleh Majelis Hukum Kasasi menyatakan, korupsi yang dilakukan pejabat publik dan uang hasil kejahatannya, sebagiannya, dialirkan untuk kegiatan politik.

Tindakan sedemikian oleh Majelis Hakim MA   dikualifikasi   sebagai tindakan korupsi politik. Begitupun,  pada  kasus   Luthfi  Hasan Ishaaq, mantan Presiden PKS, Hakim Agung Artidjo, memperberat hukuman Luthfi menjadi 18 tahun penjara. Dalam putusan ini, Artidjo membangun konstruksi hukum yang dirumuskan di dalam pertimbangan putusan berkaitan dengan suatu  tindak kejahatan yang dikualifikasi sebagai “korupsi politik”. Korupsi politik dimaknai sebagai suatu perbuatan yang dilakukan pejabat publik yang memegang kekuasaan politik tetapi kekuasaan politik itu digunakan sebagai alat kejahatan.
Di dalam Putusan Anas Urbaningrum yang dituduh dengan dakwaan berlapis, di dalam salah satu pertimbangan hukumnya dinyatakan, apa yang dilakukan oleh Anas untuk memperkaya dirinya dan orang lain, tidak hanya disebut sebagai tindak pidana korupsi saja. Perbuatan Anas yang menggunakan uang hasil kejahatannya, sebagai bagian dari upaya sadar dan sengaja untuk mencapai obsesi politiknya melalui berbagai upaya “politik” oleh Mahkamah Agung. dinyatakan   dan dikualifikasi sebagai tindakan yang disebut dengan korupsi politik juga.

Berdasarkan uraian di atas, ada hipotesis yang hendak dikemukakan, yaitu: pertama, ada penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara; kedua, tindakan itu, sedari awal, dapat ditunjukkan dengan menggunakan “pengaruh” yang dimilikinya yang dapat saja terjadi kombinasi antara penyelenggara negara dan pejabat public (kasus            Anas  dan kasus Luthfi Hasan); ketiga, sebagian uang dari hasil kejahatan itu dilakukan untuk kegiatan yang dikatagorisir sebagai aktivitas politik (kasus Iriana); keempat, adanya niat yang diwujudkan dalam bentuk tindakan atau perbuatan tertentu yang dikualifikasi sebagai suatu “kepentingan politik”; kelima, interpretasi terhadap pengertian politik, aktivitas politik dan kepentingan, ditafsirkan secara eksesif di dalam berbagai pertimbangan hukum di atas.

Untuk mengonfirmasi hipotesisi  di atas, dapat dilihat pada salah satu argument pertimbangan hukum MA dalam kasus Anas. Pada pertimbangan hukum dimaksud dikemukakan bahwa tindakan yang dilakukannya Anas itu berkaitan dengan kepentingannya untuk “merebut” jabatan politik tertentu. Lebih lanjut pertimbangan dimaksud menyatakan sebagai berikut:
“...Bahwa putusan Judex Facti bersifat kontradiktif, karena dalam  pertimbangannya telah menyebutkan bahwa Terdakwa melakukan lobi-lobi proyek pemerintah yang dibiayai dengan APBN adalah untuk kepentingan dirinya mencapai cita-citanya menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dan calon Presiden. Hal tersebut secara yuridis memenuhi     kualifikasi     unsur hadiah dan   janji     yang   patut   diketahui dan patut diduga diberikan untuk menggerakkan agar melakukan dan tidak melakukan semata dalam jabatannya seperti tertuang dalam unsur-unsur Pasal 12a Undang Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2001;...”

Ada hal yang menarik, di dalam kasus korupsi politik sesuai  hipotesis di atas, ada peran korporasi yang dijadikan sarana dan  prasarana kejahatan. Korporasi dipakai sebagai alat dan digunakan  untuk melakukan kejahatan korupsi, pada pelaksanaannya, bersekutu  dan bersimbiose dengan penggunaan kewenangan “politik” tertentu yang kemudian disebut sebagai korupsi politik. Pada ujungnya,  kesemuanya itu dapat ditujukan untuk “kepentingan” politik tertentu.

Di dalam kasus Anas, ada perusahaan yang kemudian dikenal  bernama Permai Group, suatu badan usaha yang diindikasikan, baik secara langsung dan tidak langsung digunakan untuk menjadi instrumen dalam melakukan kejahatan bersama-sama dengan Nazaruddin dan kawan lainnya. Pada kasus dimaksud dengan uraian dakwaan serta petimbangan hukum atas kasus di atas, kelak dapat dilihat, sejauh mana relasi dan integrasi kepentingan diantara korupsi korporasi dan korupsi politik.
Hal tersebut di atas menjadi penting untuk dilakukan pengkajian, selama ini, korupsi korporasi seolah menjadi bagian terpisahkan yang tidak ada kaitannya dengan korupsi politik. Padahal, relasi diantara keduanya terjadi begitu faktual serta menyebabkan kejahatan menjadi canggih dan kompleks serta kian memiliki kekuatan yang kian sulit untuk “dikendalikan” oleh sebagian penegak hukum yang belum sepenuhnya independen sehingga kasus-kasus tersebut potensial tidak sepenuhnya dapat diperiksa dan dikontestasi secara fair trial.

Pendeknya,  kini,     korupsi           tidak    hanya dapat  dikualifikasi   sebagai kejahatan terorganisir yang bersifat transnasional saja tetapi juga kejahatannya potensial dilakukan secara solid dan terintegrasi antara kepentingan korporasi, birokrasi dan politisi sehingga terjadilah suatu kejahatan korupsi terorganisir di sektor korporasi yang berkelindan dengan       suatu  kejahatan yangdikualifikasi           sebagai korupsi politik.      

Ada intensi, cukup banyaknya fakta yang memperlihatkan, kasus korupsi mempunyai hubungan segitiga diantara pihak korporasi, politisi dan birokrasi. Pada situasi seperti ini, sebagian lembaga penegakan hukum yang tidak independen, potensial berada di dalam “bayangan” kepentingan kekuasaan dan pada situasi seperti itu, lembaga penegakan hukum yang belum sepenuhnya independen akan kesulitan menjalankan fungsi dan kewenangannya secara akuntabel serta berpihak sepenuh-penuhnya pada kepentingan kepastian, kemaslahatan dan keadilan.

Yang agak mengerikan dan sangat menguatirkan, kini, ada diskursus yang terus menerus muncul, yaitu: terjadinya politik kartel dan kian solidnya kekuasan oligarki yang mempunyai kekuatan untuk mengkooptasi kekuasaan. Bahkan, ada sinyalemen yang kian terang benderang yang menunjukkan dengan sangat jelas, politik kartel dan kekuasatan oligarki ini telah mulai bekerja secara sistematis dan terstruktur di dalam sistem kekuasaan dan disebagiannya telah “menguasai” kepentingan kekuasaan sehingga tidak lagi berpihak pada kepentingan kemaslahatan publik. 

METODE KAJIAN
Di dalam melakukan kajian digunakan 3 (tiga) sumber utama, yaitu: pertama, peraturan perundangan yang berkaitan dengan kajian; kedua, informasi berupa berita yang dikemukakan oleh media yang dapat diakses. Bisa saja terjadi, pernyataan dari berbagai Pimpinan lembaga yang dikutip media dan berkaitan dengan maksud pengkajian, dijadikan bahan rujukan penulisan; dan ketiga, putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap karena sudah diputus oleh Mahkamah Agung.

Berpijak pada ketiga sumber utama di atas maka dilakukan kajian dan pembahasan dengan merujuk pada maksud kajian dan penulisan. Ada asumsi yang didasarkan atas suatu fakta yang telah dan tengah terjadi. Di satu sisi, modus operandi korupsi terus berkembang melebihi kemampuan pemahaman yang diketahui kebanyakan kalangan. Adakalanya, perkembangan itu jauh melebihi lingkup peraturan perundangan yang ada. Di sisi lainnya, aparatur penegakan hukum mempunyai keterbatasan untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya karena perkembangan kejahatan yang bisa terjadi beyond the law.

Untuk itu diperlukan kajian yang ditujukan untuk melihat lebih teliti tingkat perkembangan kejahatan, mengabstraksi kajian untuk membangun diskursus pada level publik agar kesenjangan antara perkembangan kejahatan dengan peraturan perundangan dapat terus dikendalikan agar tidak terjadi “gap” yang terlalu lebar sehingga meniadakan kepastian hukum. Selain itu, kajian juga penting dilakukan agar menjaga prioritas perhatian dari aparat penegak hukum untuk terus menerus “berpihak dan mengelola” kepentingan kemaslahatan publik sepenuh-penuhnya.

Kajian ini juga dapat digunakan dan sekaligus ditujukan untuk mengkonstruksi suatu gagasan dalam bentuk yang lebih solid yang kelak dapat dipakai untuk membangun diskursus di level masyarakat. Selain itu, kajian ini juga potensial digunakan untuk menginisiasi gagasan dan memperdebatkannya, atau kajian awal yang kelak akan disempurnakan guna mendorong percepatan perubahan berbagai peraturan perundangan agar ketentuan perundangan dimaksud senantiasa kompatibel dengan berbagai perkembangan kejahatan serta dapat digunakan secara efektif untuk mengendalikan kejahatan tersebut.

FAKTA PERKEMBANGAN KORUPSI DAN PEMBAHASAN

Ada pernyataan yang sangat menarik yang dikemukakan oleh Ketua KPK. Pernyataan tersebut menyatakan, ternyata, 90% kasus korupsi yang ditangani KPK turut melibatkan sejumlah korporasi, baik sebagai pelaku kejahatan, orang yang bersama-sama melakukan kejahatan maupun pihak yang membantu memberi sarana dan prasarana kejahatan. Modusnya, antara lain, berbentuk penyuapan untuk mendapatkan sejumlah proyek negara atau memengaruhi kebijakan.

KPK juga mengemukakan suatu data yang menyatakan, sejak tahun 2004 hingga Juni 2016, kasus terbanyak yang ditangani KPK adalah kasus penyuapan, yakni sebesar 50,9%. Ada sekitar 28,7% di antaranya adalah kasus Pengadaan Barang dan Jasa, serta 8,5% merupakan kasus penyalahgunaan anggaran. Fakta lainnya, kasus korupsi yang berkaitan dengan korporasi yang ditangani KPK baru sebatas pribadi atau perorangan tetapi KPK belum pernah menjadikan perusahaan atau korporasi sebagai tersangka kasus korupsi.

Pada belakangan ini, ada satu kasus yang mendapatkan perhatian publik. Kasus dimaksud tengah ditangani KPK, yaitu: kasus suap yang berkaitan dengan pembahasan Perda Reklamasi Jakarta. Kasus itu melibatkan Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja yang diduga keras melakukan tindak penyuapan terhadap anggota DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi. Dana penyuapan sebesar Rp.2 miliar, diduga, ditujukan untuk kepentingan Agung Podomoro terkait reklamasi atas pulau di sebelah utara Jakarta.

Kedua kasus di atas tengah diperiksa oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Salah satu hal yang membuat kasus ini menjadi sangat menarik, kasus ini menyangkut investasi dalam jumlah triliunan rupiah serta juga keuntungan atas investasi sangat fantastis karena bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Penyuapan hanya sebesar Rp.2 miliar adalah suatu jumlah yang nilainya bak serpihan pasir belaka bila dibandingkan dengan keuntungan investasi yang dihasilkan pengembang.

Ada kekuatiran yang sangat mendalam dan masuk akal. Jika jumlah keuntungan atas proyek itu begitu fantastis hingga mencapai puluhan triuliun rupiah, bukan hal yang tidak mungkin bila dana tersebut sebagiannya “digelontorkan” sebagai “pelumas” untuk menjustifikasi proyek. Tindakan ini kerap disebut juga sebagai biaya rente ekonomi-politik yang perlu “dilunasi” agar dapat legitimasi kekuasaan. Bila hal dimaksud dilakukan, diduga, kekuasaan potensial akan terbeli dan tidak akan mampu mengendalikan wibawa dan kehormatannya dibawah     capital dan komoditifikasi kepentingan.  
                                  
Selain itu, kasus ini juga menjadi sangat menarik karena masih ada banyak hal belum terungkap termasuk dalam kaitannya dengan kepentingan korporasi untuk kemudian ditarik relasinya dengan korupsi politik. Misalnya saja, apakah Ariesman Widjaja dalam kapasitas sebagai Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri? Bukankah Ariesman hanya salah satu direktur saja yang sesungguhnya menjalankan kepentingan dari kebijakan korpotasi atau bahkan kepentingan dari owner korporasi? Ada begitu banyak korporasi yang punya kepentingan atas persoalan pasal yang berkaitan dengan tambahan kontribusi sebesar 15% bagi pemilik izin reklamasi, apakah hanya satu korporasi saja yang terlibat atas kepentingan yang melibatkan begitu banyak korporasi lainnya.

Pada konteks politik, apakah kepentingan kapital untuk “menundukkan dan menguasai” parlemen, dilakukan hanya dengan menyuap seorang Sanusi saja? Padahal ada begitu banyak pertemuan lain yang melibatkan cukup banyak pimpinan parlemen daerah dan alat kelengkapan dewan di dalam pembahasan draf peraturan daerah, khususnya yang menyangkut kontribusi tambahan 15% tersebut. Lalu, kenapa hanya Sanusi saja yang bertanggungjawab atas persoalan yang begitu besar. Semoga saja, kasus Sanusi dijadikan pintu masuk untuk membongkar potensi penyuapan yang lebih struktural.

Begitupun dalam kaitannya dengan birokrasi, juga muncul banyak pertanyaan lainnya. Seperti misalnya, ada pembicaraan antara pimpinan birokrasi dengan pemilik korporasi. Bahkan, pemilik korporasi juga melakukan berbagai pertemuan, baik dengan politisi yang mewakili kekuasaan di parlemen maupun dengan kalangan birokrasi lainnya, termasuk Basuki TP sebagai Kepala Daerah DKI Jakarta. Diduga, sebagian besar pertemuan dimaksud memuat pembicaraan yang berkaitan soal reklamasi.

Lihat saja keterangan Sugianto Kusuma yang kerap dipanggil dengan nama Aguan, di muka persidangan di awal September 2016, mengemukakan pertemuannya dengan kepala pemerintahan DKI “… 2013 pertama datang untuk silaturahmi Pak Wagub, …sebetulnya saya kenal dia sudah cukup lama ... Kalau ketemu yang bukan resmi sudah sering ... Waktu di Pantai Mutiara waktu Pak Ahok wagub minta ada tambahan kontribusi ... Dari pihak Pemprov yang mengumpulkan di Pantai Mutiara, yang datang dari Intiland, Agung Podomoro, Ancol dan saya … karena pemerintah daerah mau bangun rusun, jadi perlu banyak dana maupun tanah …”.

Ternyata, Aguan juga bertemu pimpinan DPRD Jakarta untuk membahas rancangan aturan pulau reklamasi pada awal Desember 2015. Pada suatu media dikemukakan, Aguan memanggil Ketua DPRD            Prasetyo Edi Marsudi, Wakil Ketua Mohamad Taufik, anggota Badan Legislasi Ongen Sangaji, dan Ketua Panitia Khusus Reklamasi Selamat Nurdin, diperantarai Mohamad Sanusi yang menjadi tersangka suap Rp 2 miliar. Mereka membahas kemungkinan menurunkan kontribusi tambahan dari 15 menjadi 5%, Aguan keberatan karena 15 persen setara Rp 11,8 triliun. Media dimaksud menyatakan Ongen Sangaji membenarkan pertemuan tersebut. “…
Pertemuan itu ada, saya sudah jelaskan ke KPK …”.

Pada kasus Jakabaring dan Hambalang juga terjadi hal serupa, seperti yang sudah di kemukakan di atas. Pada kasus Jakabaring dan Hambalang, bertemulah tiga kepentingan besar, yaitu para politisi yang punya akses pada parlemen dan juga pemerintahan untuk menentukan suatu proyek tertentu, korporasi yang mencari akses untuk mendapatkan proyek pembangunan dari kementerian dengan menggunakan dana APBN dan pihak birokrasi yang biasa ditunjuk mewakili kepentingan kementerian dalam mengurus proyek.

Pertama kali, kasus suap Jakabaring terungkap melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK tanggal 21 April 2011. Ada tiga lembar cek, yaitu: 2 (dua) lembar dari Bank BCA dan satu lembar dari Bank Mega senilai Rp. 3.289.850.000 digunakan sebagai sarana penyuapan yang berkaitan dengan proyek pembangunan Wisma Atlet Jakabaring di Sumatera Selatan. Proyek ini dibiayai APBN melalui Daftar Isian Pembangunan Anggaran (DIPA) 2010, berupa block grant dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) ke Pemerintah Daerah Sumatera Selatan.

Di dalam kasus di atas, Muhammad Nazaruddin juga diperiksa oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan dinyatakan bersalah. Mahkamah Agung memutuskan untuk memeriksa dan mengadili sendiri kasus dimaksud. Salah satu pertimbangan hukum yang menjadi dasar untuk Mahkamah Agung menyatakan telah terpenuhinya tindak pidana adalah sebagai berikut:

a.   Bahwa perbuatan Terdakwa selaku Penyelenggara Negara yaitu Anggota DPR R.I secara aktif melakukan pertemuan-pertemuan dengan beberapa orang dari Anggota Komisi X DPR R.I yaitu Angelina Patricia Pingkan Sondakh (Koordinator di Badan Anggaran DPR R.I dari Komisi X), Mahyudin (Ketua Komisi X DPR R.I);

b.   Bahwa Terdakwa juga aktif mengadakan pertemuan dengan Wafid Muharam (Sesmenpora) dan   Andi    Malarangeng (Menteri Pemuda dan Olah Raga) yang bertujuan mengatur agar anggaran Proyek Pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring, Sumatera Selatan disetujui oleh Badan Anggaran DPR R.I;

c.    Bahwa Terdakwa juga aktif melakukan pertemuan dengan Dudung Purwadi dan Mohamad El Idris selaku Direktur Utama dan Direktur Marketing PT. DGI Tbk. dan mengupayakan PT. DGI Tbk. menjadi pelaksana pekerjaan proyek Pembangunan Wisma Atlet Jakabaring. Dari upaya aktif tersebut, Terdakwa meminta komitmen fee kepada Mohamad El Idris Direktur Marketing PT. DGI Tbk.;

Pada kasus di atas, ada tiga peran strategis yang dilakukan terdakwa. Dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen, terdakwa “menggalang” para koleganya sendiri di parlemen untuk menyetujui kebijakan penganggaran bagi kementerian tertentu. Selain itu, terdakwa juga bertemu dan berkomunikasi dengan kementerian yang memiliki pos anggaran atas proyek tertentu yang dananya sudah disetujui parlemen; dan juga, terdakwa berkordinasi dengan penguasa yang korporasinya akan digunakan untuk melaksanakan proyek pembangunan.

Bila dipelajari dengan sangat cermat, kasus ini bermula dari hanya dari 3 (tiga) orang tidak dikenal banyak dikenal publik (Mindo Rosalina Manulang,     Mohamad El Idris dan Wafid Muharam). Kemudian, kasus ini berkembang dan ternyata melibatkan Nazaruddin. Pada  akhirnya, juga  menyeret berbagai        figure yang sudah begitu dikenal publik sehingga menjadi 11 (sebelas) kasus lainnya berhasil dibawa  ke pengadilan oleh KPK.

Adapun kasus-kasus yang ada kaitannya dengan korporasinya Nazaruddin, yaitu antara lain: kasus Anas Urbaningrum. Putusan Mahkamah Agung di dalam salah satu pertimbangannya menyatakan hal-hal sebagai berikut:

Bahwa Permai Group adalah salah satu tempat bisnis Terdakwa menerima fee di samping yang lainnya. Dalam Permai Group, Terdakwa sebagai owner (Pemilik) yang dikelola oleh Mindo Rosalina Manulang dan Yulianus serta M. Nazaruddin sebagai Bendahara. Uang tidak bisa keluar tanpa persetujuan Terdakwa;

Bahwa perbuatan Terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan dititipkannya PT. Adhi Karya memperoleh Proyek Hambalang dan persiapan Terdakwa untuk menjadi Calon Ketua Umum Partai Demokrat;

Bahwa Yulianis berangkat ke Kongres Partai Demokrat di Bandung dengan membawa uang sejumlah USD 7,000,000 yang hampir semuanya bersumber dari Permai Group, uang tersebut untuk dibagikan kepada DPC-DPC;

Bahwa pembelian tanah di Jogyakarta mempunyai hubungan kausal dengan sisa uang dari fee-fee proyek yang berasal dari APBN sehingga Terdakwa melakukan tindakan menyamarkan uang dari fee-fee proyek Hambalang/APBN sebagaimana terungkap dalam fakta hukum di persidangan yang disampaikan oleh saksi Yulianis dan M. Nazaruddin sehingga perbuatan Terdakwa merupakan tindakan pencucian uang;
Bahwa perbuatan Terdakwa merupakan korupsi politik. Rangkaian perbuatan Terdakwa secara berlanjut memenuhi unsur-unsur Pasal 12a Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 64 KUHP sebagaimana dakwaan pertama dan Pasal 3 Undang Undang No. 8 Tahun 2010 Jo Pasal 65 ayat (1) (dakwaan kedua) dan Pasal 3 ayat (1) Undang Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 25 Tahun 2003;
Adapun pihak lainnya yang terlibat dengan perusahaan Nazaruddin, yaitu antara lain: Angelina Sondakh dan Andi Malarangeng. Mereka adalah politisi dari partai yang sama yang kebetulan menjadi partainya penguasa dan kasusnya sudah diadili. Selain itu, ada nama beken dari partai lainnya, sepert: Olly Dondokambey dan I Wayan Koster yang belum jelas penanganannya yang diduga terlibat bersama Angelina.
Di berbagai kesempatan lainnya, Nazaruddin mulai dan acapkali menyebut berbagai pihak lainnya, seperti: Setya Novanto, Marwan Jafar, Ganjar Pranowo, Abdul Kadir Karding, Azis Syamsudin, Mirwan Amir, termasuk Ibas dan Gamawan Fawzi. Menurut Nazaruddin, mereka dinyatakannya sebagai pihak yang diduga punya keterlibatan dengan kasus-kasus lainnya, seperti antara lain: kasus E-KTP dan kasus lainnya.
Sementara itu, ada kasus lainnya, yaitu: Rina Iriani Sri Ratnaningsih, mantan Bupati Karanganyar 2003-2013 yang tersangkut kasus korupsi dengan modus menyalahgunakan anggaran subsidi perumahan dari Kementerian Perumahan Rakyat Tahun Anggaran 2007-2008 untuk proyek perumahan Griya Lawu Asri (GLA).
Pengadilan Negeri Tipikor Semarang menjatuhkan hukuman enam tahun penjara ke Rina. Putusan ini dikabulkan pda 29 April 2015. Tapi di tingkat kasasi, Hakim Agung Artidjo Alkostar, bersama MS Lumme dan Krisna Harahap memperberat hukuman Rina menjadi 12 (dua belas) tahun penjara atau 2 (dua) tahun di atas tuntutan jaksa.
Pada putusan itu, Hakim Agung Artidjo menyatakan dan merumuskan bahwa tindakan Rina dikualifikasi sebagai korupsi politik yaitu korupsi yang dilakukan pejabat publik dan uang hasil kejahatannya digunakan untuk kegiatan politik. Lebih lanjut dikemukakan “… Terdakwa mempergunakan sebagian uang hasil korupsi sebesar Rp 2,4 miliar untuk kepentingan pribadi, yaitu dibagikan kepada pengurus politik pendukung terdakwa dalam rangka Pilkada 2008 sehingga perbuatan terdakwa merupakan korupsi politik …”.
Berkaitan dengan tindak kejahatan yang dikualifikasi sebagai ‘korupsi politik’, Hakim Agung Artidjo juga menyatakan, mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq LHI telah melakukan kejahatan ‘korupsi politik’, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan pejabat publik yang memegang kekuasaan politik tetapi kekuasaan politik itu digunakan sebagai alat kejahatan sehingga memperberat hukuman Luthfi menjadi 18 (delapan belas) tahun penjara.
Dalam putusan tersebut dikemukakan “… Hubungan transaksional antara terdakwa yang anggota badan kekuasaan legislatif dengan Maria Elizabeth Liman, pengusaha impor daging sapi, merupakan korupsi politik karena dilakukan terdakwa yang berada dalam posisi memegang kekuasaan politik sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious crimes) …”. Berdasarkan seluruh hal yang diuraikan seperti tersebut di atas maka dapat dikemukakan 3 (tiga) hal penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, tindakan yang dilakukan berbagai pihak, seperti: Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Rani Iriani dan Luthfi Hasan Ishaaq telah dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi dan keputusannya telah tetap menurut hukum karena sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung.
Ada pihak lainnya yang belum diperiksa di pengadilan tetapi di dalam dakwaan sudah disebutkan dan tindakan kejahatan dilakukan secara bersama-sama maka kepada mereka telah layak untuk dikualifikasi melakukan tindakan yang disebut koruptif. Ada juga kasus dari Ariesman Widjaja dan Mohamad Sanusi yang proses hukumnya di pengadilan sedang dilakukan tetapi belum selesai.
Karena pengertian Korupsi menurut Fockema Andreae, berasal dari bahasa latin yaitu “corruptio atau corruptus” atau dari kata asal “corrumpere“, yaitu suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua dan turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi; serta dipadankan dengan pengertian yang dirumuskan The Lexicon Webster Dictionary, maka tindakan koruptif adalah tindakan yang bersifat kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Para pihak yang sudah disebutkan di dalam dakwaan, rumusan dakwaannya telah diuji di muka pengadilan dan para pihak itu dinyatakan telah menerima sesuatu yang bertentangan dengan perundangan, kewajiban hukum serta kepatutan, para pihak tersebut sudah dapat dikualifikasi telah melakukan suatu tindakan yang dikualifikasi sebagai perbuatan korupsi.
    Kedua, tindakan subyek hukum tersebut di dalam poin pertama dilakukan oleh para pihak yang menjadi bagian dan punya relasi dengan politik dalam berbagai aspeknya. Salah satunya, korupsi tersebut dilakukan pejabat publik yang juga politisi dan sebagian uang hasil kejahatannya digunakan untuk kegiatan politik. Pada konteks itu, mereka menggunakan korporasi sebagai sarana dan prasarana kejahatan.
Pendeknya, tindakan sebagian para pihak seperti tersebut di dalam butir pertama, juga berkaitan dengan korporasi, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya Permai Group, perusahaan itu secara faktual dijadikan dan menjadi sarana serta prasarana kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Lebih dari itu, perusahaan dimaksud juga melakukan tindakan lain yang merupakan bagian dari kejahatan lainnya dengan menggunakan uang yang didapatkan dari hasil kejahatan.
Ketiga, ada fakta kongkrit yang tidak terbantahkan, korporasi yang dijadikan dan menjadi sarana serta prasarana kejahatan dimaksud, secara hukum, tidak pernah dinyatakan sebagai perusahaan pelaku kejahatan tindak pidana korupsi. Selama ini, di dalam pratik penegakan hukum di Indonesia, sebagian besar kejahatan korupsi, pihak atau subyek hukum yang dibawa dan diperiksa serta dihukum pengadilan hanyalah pelaku yang mewakili korporasi atau sebagian pemiliknya saja.
Ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 1, Angka 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dimana ada frasa kata “setiap orang” yang artinya, setiap orang adalah orang perseorangan dan juga termasuk korporasi belum diefektifkan dan diaktifkan secara paripurna. Oleh karena itu, perusahaan Permai Group, PT Agung Podomoro Land, PT. Adhi Karya, PT DGI, Dutasari Citra Laras, PT. Indoguna Utama dan perusahaan lainnya yang terlibat di dalam tindak pidana korupsi masih terus dapat bekerja dan beroperasi kendati secara faktual telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan para pemiliknya.
Fakta ini hendak menegaskan, sebagian besar pelaku kejahatan, maksudnya, korporasi yang terlibat maupun menjadi bagian dari kejahatan belum disentuh dan ditarik menjadi pihak yang juga harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Pemerintahan melalui lembaga dan aparatur penegakan hukumnya telah melakukan pembiaran dengan sangat sempurna atas kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.
Itu sebabnya, KPK harus didorong untuk segera mengaktualisasikan komitmennya dan kehendak kuatnya untuk membawa kasus korporasi, khususnya, korporasi yang diduga terlibat melakukan tindak pidana korupsi ke depan persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Fakta bahwa korporasi belum dibawa ke pengadilan dapat dimaknai sebagai tindak pembiaran. Di KPK ada sekitar 90% kasus korupsi yang ditanganinya berkaitan dan turut melibatkan korporasi. Oleh Karena itu, KPK harus didorong untuk sesegera mungkin menanganai penyuapan yang dilakukan korporasi untuk mendapatkan sejumlah proyek negara atau memengaruhi kebijakan. Itu juga artinya, dugaan kasus penyuapan yang dilakukan korporasi, yakni sebesar 50,9%, serta 28,7% di antaranya adalah kasus Pengadaan Barang dan Jasa, dan 8,5% kasus penyalahgunaan anggaran.
Salah seorang Hakim Agung, Surya Jaya dalam diskusi bertajuk “Pertanggungjawaban dan Pemidanaan Korporasi dalam Perkara Tipikor” menuyatakan “… korporasi seringkali digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana, bahkan sampai dijadikan tameng untuk melindungi hasil kejahatan yang dilakukan seorang pengurus korporasi. Hampir setiap perkara korupsi yang dilakukan seseorang atas nama perusahaan bertujuan untuk memperkaya dirinya sendiri …”.
Korupsi korporasi sudah menjadi perhatian dari komunitas internasional. Setidaknya hal ini dapat dilacak dari aturan yang dikemukakan secara eksplisit di dalam Pasal UNCAC Tahun 2013 yang menyatakan “… Each State Party shall take measures, in accordance with the fundamental principles of its domestic law, to prevent corruption involving the private sector, enhance accounting and auditing standards in the private sector and, where appropriate, provide effective, proportionate and dissuasive civil, administrative or criminal penalties for failure to comply with such measures …”.
Di dalam pasal di atas, negara diwajibkan untuk mengambil tindakan untuk mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta dan bahkan diminta memberikan sanksi, baik perdata, administratif atau pidana yang efektif. Di bagian pasal lainnya, juga diatur, tindak pidana korupsi oleh korporasi, yaitu: penyuapan di sektor swasta dan penggelapan kekayaan di sektor swasta.
Di dalam kriminologi kejahatan, semula dikenal kejahatan korporasi, baik yang dilakukan pihak yang mewakili atau menjadi manajer di perusahaan maupun perusahaan itu sendiri. Di beberapa referensi dikemukakan “… corporate crime refers to crimes committed either by a corporation (i.e., a business entity having a separate legal personality from the natural persons that manage its activities), or by individuals acting on behalf of a corporation or other business entity …”.
Selain itu, di berbagai ketentuan, terjadi apa disebut sebagai overlaps antara kejahatan korporasi dengan white-collar crime, organize crime maupun state corporate crime. Sebenarnya, di sisi lainnya, juga tidak bisa disebut sebagai tumpang tindih karena di dalam kejahatan korporasi juga dapat terdapat sifat dan karakter yang berkaitan dengan white-collar crime, organize crime maupun state corporate crime.
Hal ini disebabkan, sebagian besar pelaku kejahatan di korporasi adalah kalangan profesional yang memang memiliki kemampuan mengorganisasikan kejahatan lebih baik dan canggih ketimbang kejahatan yang dilakukan penjahat biasa, misalnya: melalui pencucian uang. Hal serupa juga dengan state-corporate crime karena di dalam banyak kasus, kejahatan terjadi karena adanya kerjasama penyelenggara negara dengan pejabat korporasi yang disebutkan “… in many contexts, the opportunity to commit crime emerges from the relationship between the corporation and the state ...”.
Bahkan ada pernyataan yang provokatif yang menyatakan “… there is evidence that the private sector has as much responsibility in generating corruption as the public sector … particular situations such as state capture can be very damaging for the economy …”. Pada situasi seperti itu, indikasi bekerja kekuatan oligarki menjadi menarik untuk diperhatikan.
Di Amerika dan Inggris, kejahatan korporasi, termasuk di dalamnya korupsi di korporasi menjadi salah satu fokus utama yang sangat diperhatikan. Oleh karena itu, ada aturan yang sangat ketat yang mengatur hal dimaksud, khususnya pada berbagai perusahaan besar yang operasinya mencakup level internasional. Perusahaan dimaksud, diwajibkan untuk mencari partner bisnis yang juga memperhatikan hal yang berkaitan dengan etik dan perilaku anti bribery. Hal tersebut dikemukakan oleh Sullivan (John D Sullivan, 2011, 2) dengan menyatakan:
In fact, legislation such as the U.S. Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) or the United Kingdom Bribery Act places legal responsibility on large companies for the behavior of their suppliers and distributors in global value chains. Enforcement of these laws is creating pressure for companies to seek overseas business partners who share their commitment to anti-corruption. It also removes deniability of wrongdoing at the C-suite level when a local agent or supplier pays a bribe. Therefore, internal compliance becomes a key element of the board’s approach to risk management.
Apa yang dikemukakan di atas tidaklah berlebihan bila dilihat berbagai fakta kejahatan yang melibatkan korporasi di berbagai negara tersebut. Daftar di bawah ini menjelaskan kejahatan korporasi yang dilakukan di Amerika yang ditangani dengan menggunakan FCPA di dalam pemerintahan Obama (Merrill, 2011, The Ten Largest Global Business Corruption Cases), yaitu sebagai berikut:

Bilamana data di atas dikaitkan dengan informasi lainnya, berkaitan dengan indikasi adanya korupsi di dalam sistem keuangan di Amerika maka akan ditemukan hal menarik. Merrill menuliskannya sebagai berikut “… if you ask most Americans, they will agree that the financial system is corrupt. It is generally assumed that just like most politicians, most big bankers are corrupt by nature …”.
Dengan demikian, kejahatan korporasi bukanlah sesuatu yang khas Indonesia tapi juga terjadi di berbagai negara lainnya. Pada kejahatan itu, ditemukan relasi indikasi korupsi yang dilakukan politisi dan pengusaha di dalam kejahatan korporasi. Itu sebabnya, ada ketentuan hukum yang tegas dengan sanksi yang sangat keras seperti diatur di US Foreign Corrupt Practice Act maupun United Kingdom Bribery Act sebagai salah satu strategi untuk memberantas korupsi.
Berkaitan dengan korupsi politik, Blechinger (Corruption and Political Parties 2002, ) menyebutkan ada 3 (tiga) jenis korupsi yang berkaitan dengan politik, yaitu korupsi yang dilakukan: pertama, partai politik sebagai salah satu aktor kunci; kedua, korupsi yang berkaitan dengan proses dan sistem pemilihan umum; dan ketiga, korupsi yang terjadi karena adanya perselingkuhan kekuasaan dan bisnis. Yakni, adanya persekongkolan antara politisi dengan pebisnis.
Berkaitan dengan korupsi jenis ketiga di atas, Mark Philp (Conceptualizing Political Corruption 2002, 42 & 51) menyatakan bahwa korupsi politik “… where people break the rules, and do so knowingly, while subverting the public interest in the search for private gain and the benefit of a third party, in ways which runs directly counter to the accepted standards of practices within the political culture …”.
Lebih lanjut, Mark Philp menyatakan bahwa prasyarat untuk dapat sebagai perbuatan korupsi politik, yaitu: pertama, dilakukan pejabat publik; kedua, merusak kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh publik; ketiga, dilakukan dengan mengeksploitasi jabatan publik untuk kepentingan pribadi, serta bertentangan dengan regulasi dan standar etis perilaku pejabat publik dan budaya politik; kelima, tindakannya menguntungkan pihak ketiga, salah satu caranya dengan memfasilitasi sehingga pihak ketiga tersebut mempunyai akses terhadap kebijakan dan kemudahan pelayanan yang tidak diperoleh orang lain. Sekali lagi, situasi ini potensial menciptakan peluang terbentuknya oligarki politik-bisnis.
Pada banyak kasus korupsi politik, acapkali dilakukan penyalahgunaan kewenangan yang bersifat diskresi. Itu sebabnya, tindakan tersebut biasa disebut sebagai discritionery corruption Karena memanipulasi kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan sehingga seolah nampaknya bersifat sah tetapi sesungguhnya tidak legitimated. Di dalam bentuk yang sudah akut dan dilakukan secara sistematis dan terstruktur kelompok kekuasaan maka tindak korupsi yang terjadi biasa disebut sebagai ideological corruption yaitu suatu jenis korupsi ilegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok dan dilakukan secara terorganisir dengan kelompok dimaksud.

KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian di atas, ada beberapa hal penting lain yang dapat dilihat dalam kaitannya dengan korupsi korporasi dan korupsi politik, yaitu antara lain sebagai berikut:
Pertama, korupsi korporasi dan korupsi politik acapkali berkaitan satu dan lainnya. Bahkan, seolah ada relasi yang tak terpisahkan satu dan lainnya. Berbagai contoh yang diajukan di dalam pembahasan di atas menunjukan hal tersebut;
Kedua, di dalam korupsi korporasi, pelakunya bisa saja hanya berasal dari korporasi dimaksud saja tetapi juga dapat terjadi, adanya kerjasama diantara penyelenggara negara dengan kalangan korporasi. Di dalam contoh lainnya, penyelenggara negara tertentu yang juga memiliki atau sebagai pemegang saham dari suatu korporasi.
Ketiga, pada konteks di atas, pihak yang menjadi bagian dari lembaga dan kepentingan kekuasaan dana atau kepentingan politik tertentu memanfaatkan atau menyalahgunakan, akses dan otoritas yang dimiliknya dengan menggunakan korporasi yang ada dalam kendalinya atau menjadi bagian dari kepentingannya. Pendeknya, di dalam praktiknya, para pemegang mandat kekuasaan, acapkali menggunakan korporasi seperti telah diuraikan di atas, baik secara langsung yang ada di bawah kendalinya atau secara tidak langsung bekerja bersama digunakan sebagai sarana dan prasarana untuk melakukan kejahatan.
Keempat, juga dapat terjadi, sedari awal, ada persekutuan atau sindikasi antara tindak korupsi korporasi dan korupsi politik yang melibatkan pihak yang memegang dan memiliki otoritas dan kewenangan yang melekat pada jabatan politik tertentu dengan pihak yang mewakili kepentingan korporasi untuk secara bersama memanfaatkan, mengeksploitasi atau menyalahgunakan sumber daya publik yang berasal dari keuangan negara untuk kepentingan privat dan kelompoknya sendiri.
Kelima, kini, ada indikasi, persilangan kepentingan antara korporasi, penyelenggara negara dan politisi dan korupsi politik tidak menggunakan keuangan negara secara langsung sehingga sulit dibuktikan adanya unsur kerugian keuangan negara. Pada kasus tertentu, dana yang digunakan berasal dari korporasi dan ditujukan untuk “membeli” otoritas yang dimiliki oleh penyelenggaraan negara. Pada konteks ini, korporasi dengan kekuatan kapitalnya dapat mendikte hingga menguasai kepentingannya sehingga terjadilah apa disebut sebagai capital and corporate driven atas berbagai proyek yang tidak ditujukan untuk kepentingan publik.
Penegak hukum mengalami kegagapan untuk dapat menangani dan masuk di dalam kasus ini karena sifat kasusnya menjadi beyond the law. Pada kasus ini, pemilik otoritas “menggadaikan” kewenangannya atau memanfaatkan kewenangannya untuk kepentingan pemilik kapital yang telah “membayarnya”, bisa saja secara tidak langsung. Pendeknya, kebijakan untuk kepentingan publik telah “dibajak” oleh kepentingan korporasi tetapi menggunakan dalih untuk dan atas nama kepentingan rakyat dan pembangunan
Keenam, besaran dampak dan kerugian pada jenis korupsi korporasi yang bersekutu atau berselingkuh dengan korupsi politik bisa sangat besar sekali. Sangat mungkin terjadi, kapitalisasi dan eksploitasi keuntungan yang dahsyat luar biasa. Secara langsung, seolah, tidak merugikan keuangan negara tetapi sesungguhnya kemaslahatan publik akan sangat dirugikan sekali karena corporate driven mengejar kapitalisasi profit dan acapkali menegasikan dan mendelegitimasi kepentingan rakyat, khususnya, rakyat kecil kebanyakan dan kaum dhuafa.
Ketujuh, persekutuan dan perselingkuhan korupsi politik dan korupsi korporasi kerap dilakukan dengan membangun kebijakan tertentu yang berpihak dan mempunyai favoritism dan menguntungkan kepentingan dari korporasi tertentu yang sudah membiayai dan membeli otorits kekuasaan dari penyelenggaraan negara.
Kesemuanya itu ditujukan untuk mendelegitimasi terjadinya unsur menyalahgunakan kewenangan atau perbuatan melawan hukum karena semua peraturan hukum dibuat dirancang untuk melegitimasi penyalahgunaan. Legal tapi tidak legimated atau legal tapi tidak berbasis pada kepentingan kemaslahatan publik.

DAFTAR PUSTAKA
Blechinger, Verena, 2002, Corruption and Political Parties, Presentation USAID MSI, Management Systems International
Fockema Andreae, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Bina Cipta, 1983
John D Sullivan PhD., The Role of Corporate Governance in Figthing of Corruption, 2011
Philp, Mark, 2002, “Conceptualizing Political Corruption”, dalam Heidenheimer, Arnold J. & Johnston, Michael (eds), Political Corruption: A Hand Book, Third Edition, Transaction Publisher: New Jersey
Mahkamah Agung, Putusan No. 1261 K/Pid.Sus/2015
Mahkamah Agung, Putusan No. 2223 K/Pid.Sus/20012
United Nation Convention Against Corruption Tahun 2013
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
Undang Undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
Undang Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi UNCAC 2003
http://www.thefiscaltimes.com/Articles/2011/12/13/The-Ten- Largest-Global-Business-Corruption-Cases by Merrill Goozner, The Fiscal Times, December 13, 2011
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/14/063762580/terkuak-aguan-diduga-dalang suap-reklamasi-ini-buktinya
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/07/30/1320464/ Korporasi.yang.Terlibat.Korupsi.Kerap.Tak.Tersentuh.Hukum
http://jateng.tribunnews.com/2016/08/11/kpk-perusahaan-bisa-jadi-tersangka-korupsi
http://kbr.id/08-2016/ketua_kpk__akan_ada_korporasi_jadi_ tersangka_korupsi/83938.html
http://news.detik.com/berita/3293009/cerita-aguan-soal-kontribusi-bagi-pengembang-reklamasi-yang-berubah-ubah

Disadur ulang dari https://acch.kpk.go.id/id/jurnal-integritas

Entri yang Diunggulkan

Museum Daerah 1000 Moko Kabupaten Alor

Jika anda mengunjungi Kabupaten Alor, khusunya Kota Kalabahi, belum lengkap rasanya jika belum menyinggahi Museum Daerah Alor " Museum ...