Implementasi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah yang dipertegas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota mengharuskan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
diharuskan secara langsung sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) “Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan
rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.”
Dalam
menghadapi pemilihan secara langsung sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat di
wilayah provinsi dan kabupaten/kota, persaingan para politisi dan juga Partai
politik di wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang masuk dalam tim sukses
Calon Gubernur, Bupati, Dan Walikota untuk bersaing dan mengalahkan
lawan-lawannya tentu saja dilakukan dengan berbagai macam cara. Masih segar dalam ingatan kita aroma perpolitikan
bernuansa SARA menjadi gurita yang selalu dipertontonkan pada Pemilihan Kepala
Daerah maupun Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Hal inilah yang ditengarai
sebagai salah satu tindakan menghalalkan segala cara, tanpa berpikir terhadap
efek negatif yang sangat mengerikan yang dapat ditimbulkan oleh isu SARA.
Perilaku politik "menghalalkan segala cara",
bahkan agama dijadikan sebagai alat politik mengingatkan kita pada salah satu
tokoh politik yang tersohot di abad modern yaitu Niccolo Machiavelli. Dia
adalah ilmuwan pertama yang membaca fenomena sosial politik tanpa merujuk pada
sumber etis atau hukum, pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan scientific murni yang lepas dari
berbagai jejaring etis.
Persoalan politik adalah persoalan meraih dan mempertahankan
keluasaan tanpa adanya intervensi apapun termasuk nilai etis agama. Banyaknya
soal politik yang selalu dikaitkan dengan agama semata-mata hanya untuk meraih
atau mempertahankan kekuasaan. Pada taraf ini, machiavelli melihat hubungan
agama dan politik melalui sudut pragmatisme dan kepentingan politik praktis
kekuasaan. Agama akan memiliki makna bergantung pada sejauh mana agama tersebut
berguna untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Keberadaan dan
diperlukannya sebuah agama bukan karena kandungan luhur yang ada di dalamnya,
tetapi sebagai alat membentuk sikap patuh masyarakat terhadap pemimpin atau
kekuasaan. Pemikiran Machiavelli ini terkesan sangat merendahkan posisi agama,
namun dalam praktek politik Indonesia, berbagai fakta berserakan yang mendukung
kebenaran pemikiran ini sangat mudah untuk ditemukan.
Seorang calon kepala daerah yang mempunyai latar belakang
yang hebat, jujur, kemampuan dan pola pikir tata pemerintahan dan pelayanan
masyarakat yang yang baik tetapi dikarenakan aroma perpolitikan bernuansa SARA
dan terlebih isu agama, maka dapat dipastikan calon kepala daerah tersebut akan
gugur dengan sendirinya. Ini tentu saja suatu kemunduran bagi masyarakat yang
menghendaki adanya perbaikan pelayanan pemerintahan yang baik dan terarah
dengan adanya pemimpin daerah yang baru nantinya.
No comments:
Post a Comment