PENDAHULUAN
Ada 2 (dua) frasa kunci yang menjadi bagian penting dari
tulisan ini, yaitu: Korupsi Politik dan Korupsi Korporasi. Tentu, kedua frasa itu
perlu dijelaskan makna operasionalnya tetapi juga akan dilacak, apakah pada
keduanya ada relasi sehingga terjadi pertautan satu dan lainnya. Selama ini,
ada dugaan, disebagiannya, korupsi korporasi tidak berdiri sendiri, ada “jejak”
korupsi politik yang menyertai dan menjadi bagian dari korupsi korporasi.
Bagaimana jika terjadi pertautan dan juga konsolidasi kepentingan diantara
keduanya, apakah modus operandi operasi makin menjadi “solid” dengan “dampak”
yang juga kian besar magnitudenya.
Secara umum, korupsi yang diduga dilakukan korporasi
telah dirumuskan di dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Di dalam rumusan pasal pada
delik kejahatan yang tersebut di dalam UU Tindak Pidana Korupsi, dimulai dengan
menggunakan frasa kata “setiap orang”. Pada frasa kata tersebut, setiap orang
dimaknai sebagai orang perseorangan dan juga termasuk korporasi (Pasal 1, Angka
3 UU No. 31 Tahun 1999). Bahkan, di dalam Pasal 1, Angka 1 UU tersebut di atas,
juga dirumuskan pengertian dari korporasi, sebagai kumpulan orang dan atau
kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum. Berdasarkan uraian tersebut, “setiap orang” juga termasu korporasi dapat dikualifikasi menjadi subyek dari suatu tindak pidana
korupsi. Bahkan, di dalam Pasal 20 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi, sudah dijelaskan hal ihwal mengenai korupsi yang dilakukan korporasi
dan atau pengurusnya.
Ada 3 (tiga) hal menarik berkaitan dengan korupsi
korporasi ini bila dikaitkan dengan keinginan KPK untuk membawa kasus korupsi
ke depan pengadilan, yaitu: pertama, KPK menyatakan bahwa sebagian besar kasus
penyuapan dalam tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi; kedua, tidak
ada satu pun korporasi yang dihukum dalam seluruh kasus korupsi yang ditangani
KPK yang melibatkan korporasi karena korupsi yang ditangani baru sebatas
pribadi atau perorangan; ketiga, kasus korupsi korporasi, disebagiannya, juga
melibatkan politisi selain aparatur birokrasi. Pernyataan ini hendak
menegaskan, ada kepentingan lain yang potensial bekerja di dalam kasus korupsi korporasi.
Berkaitan dengan pernyataan di dalam butir ketiga di
atas, ada suatu pertanyaan yang mengemuka, apakah korupsi politik menjadi sesuatu
yang berdiri sendiri atau menjadi bagian dari korupsi lainnya, khususnya
korupsi korporasi serta juga punya hubungan dengan kepentingan politik. Pada
kenyataan lainnya, ada banyak ditemukan fakta, korupsi juga dilakukan oleh
kalangan parlemen yang kerap disebut sebagai politisi, dan korupsi juga
dilakukan bersama birokrasi dan korporasi. Itu sebabnya menarik untuk dikaji,
adakah pengaruh politik tertentu yang menyebabkan pihak lain menyalahgunakan kewenangan
atau perbuatan melawan hukum.
Secara umum, tidak ada satu pun penjelasan normatif yang tersebut
dan disediakan oleh suatu peraturan perundangan yang dapat menjelaskan
pengertian korupsi politik. Artidjo Alkostar, Hakim di Mahkamah Agung, mencoba
melakukan “ijtihad hukum” dengan merumuskan korupsi politik melalui berbagai
pertimbangan hukum di dalam kasus-kasus yang diputuskannya, khususnya pada kasus-kasus
korupsi diajukan kasasi ke Mahkamh Agung. Misalnya saja, di dalam kasus Rina
Iriani Sri Ratnaningsih, mantan Bupati Karanganyar, dihukum lebih tinggi dari
tuntutan Penuntut Umum. Salah satu alasan dalam pertimbangan hukum yang dirumuskan
oleh Majelis Hukum Kasasi menyatakan, korupsi yang dilakukan pejabat publik dan
uang hasil kejahatannya, sebagiannya, dialirkan untuk kegiatan politik.
Tindakan sedemikian oleh Majelis Hakim MA dikualifikasi sebagai
tindakan korupsi politik. Begitupun, pada kasus Luthfi Hasan
Ishaaq, mantan Presiden PKS, Hakim Agung Artidjo,
memperberat hukuman Luthfi menjadi 18 tahun penjara. Dalam putusan ini, Artidjo
membangun konstruksi hukum yang dirumuskan di dalam pertimbangan putusan
berkaitan dengan suatu tindak kejahatan yang dikualifikasi sebagai “korupsi politik”. Korupsi
politik dimaknai sebagai suatu perbuatan yang dilakukan pejabat publik yang memegang
kekuasaan politik tetapi kekuasaan politik itu digunakan sebagai alat
kejahatan.
Di dalam Putusan Anas Urbaningrum yang dituduh dengan dakwaan
berlapis, di dalam salah satu pertimbangan hukumnya dinyatakan, apa yang
dilakukan oleh Anas untuk memperkaya dirinya dan orang lain, tidak hanya
disebut sebagai tindak pidana korupsi saja. Perbuatan Anas yang menggunakan
uang hasil kejahatannya, sebagai bagian dari upaya sadar dan sengaja untuk
mencapai obsesi politiknya melalui berbagai upaya “politik” oleh Mahkamah Agung.
dinyatakan dan dikualifikasi sebagai
tindakan yang disebut dengan korupsi politik juga.
Berdasarkan uraian di atas, ada hipotesis yang hendak dikemukakan,
yaitu: pertama, ada penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh penyelenggara
negara; kedua, tindakan itu, sedari awal, dapat ditunjukkan dengan menggunakan “pengaruh”
yang dimilikinya yang dapat saja terjadi kombinasi antara penyelenggara negara dan
pejabat public (kasus Anas dan kasus Luthfi Hasan); ketiga, sebagian uang
dari hasil kejahatan itu dilakukan untuk kegiatan yang dikatagorisir sebagai
aktivitas politik (kasus Iriana); keempat, adanya niat yang diwujudkan dalam
bentuk tindakan atau perbuatan tertentu yang dikualifikasi sebagai suatu
“kepentingan politik”; kelima, interpretasi terhadap pengertian politik,
aktivitas politik dan kepentingan, ditafsirkan secara eksesif di dalam berbagai
pertimbangan hukum di atas.
Untuk mengonfirmasi
hipotesisi di atas, dapat dilihat pada salah satu argument pertimbangan hukum MA
dalam kasus Anas. Pada pertimbangan hukum dimaksud dikemukakan bahwa tindakan
yang dilakukannya Anas itu berkaitan dengan kepentingannya untuk “merebut” jabatan
politik tertentu. Lebih lanjut pertimbangan dimaksud menyatakan sebagai
berikut:
“...Bahwa putusan
Judex Facti bersifat kontradiktif, karena dalam pertimbangannya telah menyebutkan bahwa
Terdakwa melakukan lobi-lobi proyek pemerintah yang dibiayai dengan APBN adalah
untuk kepentingan dirinya mencapai cita-citanya menjadi Ketua Umum Partai
Demokrat dan calon Presiden. Hal tersebut secara yuridis memenuhi kualifikasi unsur hadiah dan janji yang patut diketahui
dan patut diduga diberikan untuk menggerakkan agar melakukan dan tidak
melakukan semata dalam jabatannya seperti tertuang dalam unsur-unsur Pasal 12a
Undang Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang
No. 20 Tahun 2001;...”
Ada hal yang menarik, di dalam kasus korupsi politik
sesuai hipotesis di atas, ada peran
korporasi yang dijadikan sarana dan prasarana
kejahatan. Korporasi dipakai sebagai alat dan digunakan untuk melakukan kejahatan korupsi, pada
pelaksanaannya, bersekutu dan
bersimbiose dengan penggunaan kewenangan “politik” tertentu yang kemudian
disebut sebagai korupsi politik. Pada ujungnya,
kesemuanya itu dapat ditujukan untuk “kepentingan” politik tertentu.
Di dalam kasus Anas, ada perusahaan yang kemudian
dikenal bernama Permai Group, suatu badan
usaha yang diindikasikan, baik secara langsung dan tidak langsung digunakan
untuk menjadi instrumen dalam melakukan kejahatan bersama-sama dengan Nazaruddin
dan kawan lainnya. Pada kasus dimaksud dengan uraian dakwaan serta petimbangan
hukum atas kasus di atas, kelak dapat dilihat, sejauh mana relasi dan integrasi
kepentingan diantara korupsi korporasi dan korupsi politik.
Hal tersebut di atas
menjadi penting untuk dilakukan pengkajian, selama ini, korupsi korporasi
seolah menjadi bagian terpisahkan yang tidak ada kaitannya dengan korupsi politik.
Padahal, relasi diantara keduanya terjadi begitu faktual serta menyebabkan
kejahatan menjadi canggih dan kompleks serta kian memiliki kekuatan yang kian
sulit untuk “dikendalikan” oleh sebagian penegak hukum yang belum sepenuhnya
independen sehingga kasus-kasus tersebut potensial tidak sepenuhnya dapat
diperiksa dan dikontestasi secara fair
trial.
Pendeknya, kini, korupsi tidak hanya dapat dikualifikasi sebagai kejahatan terorganisir yang bersifat
transnasional saja tetapi juga kejahatannya potensial dilakukan secara solid
dan terintegrasi antara kepentingan korporasi, birokrasi dan politisi sehingga
terjadilah suatu kejahatan korupsi terorganisir di sektor korporasi yang
berkelindan dengan suatu kejahatan yangdikualifikasi sebagai korupsi politik.
Ada intensi, cukup banyaknya fakta yang memperlihatkan,
kasus korupsi mempunyai hubungan segitiga diantara pihak korporasi, politisi
dan birokrasi. Pada situasi seperti ini, sebagian lembaga penegakan hukum yang
tidak independen, potensial berada di dalam “bayangan” kepentingan kekuasaan
dan pada situasi seperti itu, lembaga penegakan hukum yang belum sepenuhnya
independen akan kesulitan menjalankan fungsi dan kewenangannya secara akuntabel
serta berpihak sepenuh-penuhnya pada kepentingan kepastian, kemaslahatan dan
keadilan.
Yang agak mengerikan dan sangat menguatirkan, kini, ada diskursus yang
terus menerus muncul, yaitu: terjadinya politik kartel dan kian solidnya
kekuasan oligarki yang mempunyai kekuatan untuk mengkooptasi kekuasaan. Bahkan,
ada sinyalemen yang kian terang benderang yang menunjukkan dengan sangat jelas,
politik kartel dan kekuasatan oligarki ini telah mulai bekerja secara
sistematis dan terstruktur di dalam sistem kekuasaan dan disebagiannya telah “menguasai”
kepentingan kekuasaan sehingga tidak lagi berpihak pada kepentingan kemaslahatan
publik.
METODE KAJIAN
Di dalam melakukan kajian digunakan 3 (tiga) sumber
utama, yaitu: pertama, peraturan perundangan yang berkaitan dengan kajian;
kedua, informasi berupa berita yang dikemukakan oleh media yang dapat diakses.
Bisa saja terjadi, pernyataan dari berbagai Pimpinan lembaga yang dikutip media
dan berkaitan dengan maksud pengkajian, dijadikan bahan rujukan penulisan; dan
ketiga, putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap karena
sudah diputus oleh Mahkamah Agung.
Berpijak pada ketiga sumber utama di atas maka dilakukan kajian
dan pembahasan dengan merujuk pada maksud kajian dan penulisan. Ada asumsi yang
didasarkan atas suatu fakta yang telah dan tengah terjadi. Di satu sisi, modus
operandi korupsi terus berkembang melebihi kemampuan pemahaman yang diketahui
kebanyakan kalangan. Adakalanya, perkembangan itu jauh melebihi lingkup
peraturan perundangan yang ada. Di sisi lainnya, aparatur penegakan hukum
mempunyai keterbatasan untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya karena perkembangan
kejahatan yang bisa terjadi beyond the
law.
Untuk itu diperlukan kajian yang ditujukan untuk melihat
lebih teliti tingkat perkembangan kejahatan, mengabstraksi kajian untuk membangun
diskursus pada level publik agar kesenjangan antara perkembangan kejahatan dengan
peraturan perundangan dapat terus dikendalikan agar tidak terjadi “gap” yang
terlalu lebar sehingga meniadakan kepastian hukum. Selain itu, kajian juga
penting dilakukan agar menjaga prioritas perhatian dari aparat penegak hukum
untuk terus menerus “berpihak dan mengelola” kepentingan kemaslahatan publik
sepenuh-penuhnya.
Kajian ini juga dapat digunakan dan sekaligus ditujukan
untuk mengkonstruksi suatu gagasan dalam bentuk yang lebih solid yang kelak
dapat dipakai untuk membangun diskursus di level masyarakat. Selain itu, kajian
ini juga potensial digunakan untuk menginisiasi gagasan dan memperdebatkannya,
atau kajian awal yang kelak akan disempurnakan guna mendorong percepatan
perubahan berbagai peraturan perundangan agar ketentuan perundangan dimaksud senantiasa
kompatibel dengan berbagai perkembangan kejahatan serta dapat digunakan secara
efektif untuk mengendalikan kejahatan tersebut.
FAKTA PERKEMBANGAN
KORUPSI DAN PEMBAHASAN
Ada pernyataan yang sangat menarik yang dikemukakan oleh Ketua
KPK. Pernyataan tersebut menyatakan, ternyata, 90% kasus korupsi yang ditangani
KPK turut melibatkan sejumlah korporasi, baik sebagai pelaku kejahatan, orang
yang bersama-sama melakukan kejahatan maupun pihak yang membantu memberi sarana
dan prasarana kejahatan. Modusnya, antara lain, berbentuk penyuapan untuk
mendapatkan sejumlah proyek negara atau memengaruhi kebijakan.
KPK juga mengemukakan suatu data yang menyatakan, sejak tahun
2004 hingga Juni 2016, kasus terbanyak yang ditangani KPK adalah kasus
penyuapan, yakni sebesar 50,9%. Ada sekitar 28,7% di antaranya adalah kasus
Pengadaan Barang dan Jasa, serta 8,5% merupakan kasus penyalahgunaan anggaran.
Fakta lainnya, kasus korupsi yang berkaitan dengan korporasi yang ditangani KPK
baru sebatas pribadi atau perorangan tetapi KPK belum pernah menjadikan perusahaan
atau korporasi sebagai tersangka kasus korupsi.
Pada belakangan
ini, ada satu kasus yang mendapatkan perhatian publik. Kasus dimaksud tengah
ditangani KPK, yaitu: kasus suap yang berkaitan dengan pembahasan Perda
Reklamasi Jakarta. Kasus itu melibatkan Presiden Direktur Agung Podomoro Land,
Ariesman Widjaja yang diduga keras melakukan tindak penyuapan terhadap anggota
DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi. Dana penyuapan sebesar Rp.2 miliar, diduga,
ditujukan untuk kepentingan Agung Podomoro terkait reklamasi atas pulau di
sebelah utara Jakarta.
Kedua kasus di atas tengah diperiksa oleh Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Salah satu hal yang membuat kasus ini menjadi
sangat menarik, kasus ini menyangkut investasi dalam jumlah triliunan rupiah
serta juga keuntungan atas investasi sangat fantastis karena bisa mencapai
ratusan triliun rupiah. Penyuapan hanya sebesar Rp.2 miliar adalah suatu jumlah
yang nilainya bak serpihan pasir belaka bila dibandingkan dengan keuntungan
investasi yang dihasilkan pengembang.
Ada kekuatiran yang sangat mendalam dan masuk akal. Jika jumlah
keuntungan atas proyek itu begitu fantastis hingga mencapai puluhan triuliun
rupiah, bukan hal yang tidak mungkin bila dana tersebut sebagiannya “digelontorkan”
sebagai “pelumas” untuk menjustifikasi proyek. Tindakan ini kerap disebut juga sebagai biaya rente ekonomi-politik yang
perlu “dilunasi” agar dapat legitimasi kekuasaan. Bila hal dimaksud dilakukan,
diduga, kekuasaan potensial akan terbeli dan tidak akan mampu mengendalikan wibawa
dan kehormatannya dibawah capital dan
komoditifikasi kepentingan.
Selain itu, kasus ini juga menjadi sangat menarik karena
masih ada banyak hal belum terungkap termasuk dalam kaitannya dengan kepentingan
korporasi untuk kemudian ditarik relasinya dengan korupsi politik. Misalnya
saja, apakah Ariesman Widjaja dalam kapasitas sebagai Presiden Direktur PT
Agung Podomoro Land bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri? Bukankah
Ariesman hanya salah satu direktur saja yang sesungguhnya menjalankan kepentingan
dari kebijakan korpotasi atau bahkan kepentingan dari owner korporasi? Ada begitu
banyak korporasi yang punya kepentingan atas persoalan pasal yang berkaitan
dengan tambahan kontribusi sebesar 15% bagi pemilik izin reklamasi, apakah hanya
satu korporasi saja yang terlibat atas kepentingan yang melibatkan begitu
banyak korporasi lainnya.
Pada konteks politik, apakah kepentingan kapital untuk “menundukkan
dan menguasai” parlemen, dilakukan hanya dengan menyuap seorang Sanusi saja? Padahal
ada begitu banyak pertemuan lain yang melibatkan cukup banyak pimpinan parlemen
daerah dan alat kelengkapan dewan di dalam pembahasan draf peraturan daerah, khususnya
yang menyangkut kontribusi tambahan 15% tersebut. Lalu, kenapa hanya Sanusi saja
yang bertanggungjawab atas persoalan yang begitu besar. Semoga saja, kasus
Sanusi dijadikan pintu masuk untuk membongkar potensi penyuapan yang lebih
struktural.
Begitupun dalam kaitannya dengan birokrasi, juga muncul
banyak pertanyaan lainnya. Seperti misalnya, ada pembicaraan antara pimpinan
birokrasi dengan pemilik korporasi. Bahkan, pemilik korporasi juga melakukan
berbagai pertemuan, baik dengan politisi yang mewakili kekuasaan di parlemen
maupun dengan kalangan birokrasi lainnya, termasuk Basuki TP sebagai Kepala
Daerah DKI Jakarta. Diduga, sebagian besar pertemuan dimaksud memuat pembicaraan
yang berkaitan soal reklamasi.
Lihat saja keterangan Sugianto Kusuma yang kerap
dipanggil dengan nama Aguan, di muka persidangan di awal September 2016, mengemukakan
pertemuannya dengan kepala pemerintahan DKI “… 2013 pertama datang untuk
silaturahmi Pak Wagub, …sebetulnya saya kenal dia sudah cukup lama ... Kalau
ketemu yang bukan resmi sudah sering ... Waktu di Pantai Mutiara waktu Pak Ahok
wagub minta ada tambahan kontribusi ... Dari pihak Pemprov yang mengumpulkan di
Pantai Mutiara, yang datang dari Intiland, Agung Podomoro, Ancol dan saya …
karena pemerintah daerah mau bangun rusun, jadi perlu banyak dana maupun tanah
…”.
Ternyata, Aguan juga bertemu pimpinan DPRD Jakarta untuk membahas
rancangan aturan pulau reklamasi pada awal Desember 2015. Pada suatu media dikemukakan,
Aguan memanggil Ketua DPRD Prasetyo
Edi Marsudi, Wakil Ketua Mohamad Taufik, anggota Badan Legislasi Ongen Sangaji,
dan Ketua Panitia Khusus Reklamasi Selamat Nurdin, diperantarai Mohamad Sanusi
yang menjadi tersangka suap Rp 2 miliar. Mereka membahas kemungkinan menurunkan
kontribusi tambahan dari 15 menjadi 5%, Aguan keberatan karena 15 persen setara
Rp 11,8 triliun. Media dimaksud menyatakan Ongen Sangaji membenarkan pertemuan
tersebut. “…
Pertemuan itu ada, saya sudah jelaskan ke KPK …”.
Pada kasus Jakabaring dan Hambalang juga terjadi hal
serupa, seperti yang sudah di kemukakan di atas. Pada kasus Jakabaring dan Hambalang,
bertemulah tiga kepentingan besar, yaitu para politisi yang punya akses pada
parlemen dan juga pemerintahan untuk menentukan suatu proyek tertentu,
korporasi yang mencari akses untuk mendapatkan proyek pembangunan dari
kementerian dengan menggunakan dana APBN dan pihak birokrasi yang biasa
ditunjuk mewakili kepentingan kementerian dalam mengurus proyek.
Pertama kali, kasus suap Jakabaring terungkap melalui
Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK tanggal 21 April 2011. Ada tiga lembar cek,
yaitu: 2 (dua) lembar dari Bank BCA dan satu lembar dari Bank Mega senilai Rp.
3.289.850.000 digunakan sebagai sarana penyuapan yang berkaitan dengan proyek
pembangunan Wisma Atlet Jakabaring di Sumatera Selatan. Proyek ini dibiayai
APBN melalui Daftar Isian Pembangunan Anggaran (DIPA) 2010, berupa block grant dari Kementerian Pemuda dan
Olah Raga (Kemenpora) ke Pemerintah Daerah Sumatera Selatan.
Di dalam kasus di atas, Muhammad Nazaruddin juga diperiksa
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan dinyatakan bersalah. Mahkamah Agung memutuskan
untuk memeriksa dan mengadili sendiri kasus dimaksud. Salah satu pertimbangan hukum
yang menjadi dasar untuk Mahkamah Agung menyatakan telah terpenuhinya tindak pidana
adalah sebagai berikut:
a. Bahwa perbuatan Terdakwa selaku Penyelenggara Negara
yaitu Anggota DPR R.I secara aktif melakukan pertemuan-pertemuan dengan
beberapa orang dari Anggota Komisi X DPR R.I yaitu Angelina Patricia Pingkan
Sondakh (Koordinator di Badan Anggaran DPR R.I dari Komisi X), Mahyudin (Ketua
Komisi X DPR R.I);
b. Bahwa Terdakwa juga aktif mengadakan pertemuan dengan Wafid
Muharam (Sesmenpora) dan Andi Malarangeng (Menteri Pemuda dan Olah Raga) yang
bertujuan mengatur agar anggaran Proyek Pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring,
Sumatera Selatan disetujui oleh Badan Anggaran DPR R.I;
c. Bahwa Terdakwa juga aktif melakukan pertemuan dengan Dudung
Purwadi dan Mohamad El Idris selaku Direktur Utama dan Direktur Marketing PT.
DGI Tbk. dan mengupayakan PT. DGI Tbk. menjadi pelaksana pekerjaan proyek
Pembangunan Wisma Atlet Jakabaring. Dari upaya aktif tersebut, Terdakwa meminta
komitmen fee kepada Mohamad El Idris Direktur Marketing PT. DGI Tbk.;
Pada kasus di atas, ada tiga peran strategis yang
dilakukan terdakwa. Dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen, terdakwa “menggalang”
para koleganya sendiri di parlemen untuk menyetujui kebijakan penganggaran bagi
kementerian tertentu. Selain itu, terdakwa juga bertemu dan berkomunikasi
dengan kementerian yang memiliki pos anggaran atas proyek tertentu yang dananya
sudah disetujui parlemen; dan juga, terdakwa berkordinasi dengan penguasa yang
korporasinya akan digunakan untuk melaksanakan proyek pembangunan.
Bila dipelajari dengan sangat cermat, kasus ini bermula
dari hanya dari 3 (tiga) orang tidak dikenal banyak dikenal publik (Mindo
Rosalina Manulang, Mohamad El Idris
dan Wafid Muharam). Kemudian, kasus ini berkembang dan ternyata melibatkan Nazaruddin.
Pada akhirnya, juga menyeret berbagai figure yang sudah begitu dikenal publik sehingga menjadi 11
(sebelas) kasus lainnya berhasil dibawa ke
pengadilan oleh KPK.
Adapun kasus-kasus yang ada kaitannya dengan korporasinya
Nazaruddin, yaitu antara lain: kasus Anas Urbaningrum. Putusan Mahkamah Agung
di dalam salah satu pertimbangannya menyatakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Permai Group adalah salah satu tempat bisnis
Terdakwa menerima fee di samping yang lainnya. Dalam Permai Group, Terdakwa
sebagai owner (Pemilik) yang dikelola oleh Mindo Rosalina Manulang dan Yulianus
serta M. Nazaruddin sebagai Bendahara. Uang tidak bisa keluar tanpa persetujuan
Terdakwa;
Bahwa perbuatan Terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan
dititipkannya PT. Adhi Karya memperoleh Proyek Hambalang dan persiapan Terdakwa
untuk menjadi Calon Ketua Umum Partai Demokrat;
Bahwa Yulianis berangkat ke Kongres Partai Demokrat di Bandung
dengan membawa uang sejumlah USD 7,000,000 yang hampir semuanya bersumber dari
Permai Group, uang tersebut untuk dibagikan kepada DPC-DPC;
Bahwa
pembelian tanah di Jogyakarta mempunyai hubungan kausal dengan sisa uang dari
fee-fee proyek yang berasal dari APBN sehingga Terdakwa melakukan tindakan
menyamarkan uang dari fee-fee proyek Hambalang/APBN sebagaimana terungkap dalam
fakta hukum di persidangan yang disampaikan oleh saksi Yulianis dan M.
Nazaruddin sehingga perbuatan Terdakwa merupakan tindakan pencucian uang;
Bahwa
perbuatan Terdakwa merupakan korupsi politik. Rangkaian perbuatan Terdakwa
secara berlanjut memenuhi unsur-unsur Pasal 12a Undang Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal
64 KUHP sebagaimana dakwaan pertama dan Pasal 3 Undang Undang No. 8 Tahun 2010
Jo Pasal 65 ayat (1) (dakwaan kedua) dan Pasal 3 ayat (1) Undang Undang No. 15
Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 25 Tahun 2003;
Adapun
pihak lainnya yang terlibat dengan perusahaan Nazaruddin, yaitu antara lain:
Angelina Sondakh dan Andi Malarangeng. Mereka adalah politisi dari partai yang
sama yang kebetulan menjadi partainya penguasa dan kasusnya sudah diadili.
Selain itu, ada nama beken dari partai lainnya, sepert: Olly Dondokambey dan I
Wayan Koster yang belum jelas penanganannya yang diduga terlibat bersama
Angelina.
Di
berbagai kesempatan lainnya, Nazaruddin mulai dan acapkali menyebut berbagai
pihak lainnya, seperti: Setya Novanto, Marwan Jafar, Ganjar Pranowo, Abdul
Kadir Karding, Azis Syamsudin, Mirwan Amir, termasuk Ibas dan Gamawan Fawzi.
Menurut Nazaruddin, mereka dinyatakannya sebagai pihak yang diduga punya keterlibatan
dengan kasus-kasus lainnya, seperti antara lain: kasus E-KTP dan kasus lainnya.
Sementara
itu, ada kasus lainnya, yaitu: Rina Iriani Sri Ratnaningsih, mantan Bupati
Karanganyar 2003-2013 yang tersangkut kasus korupsi dengan modus
menyalahgunakan anggaran subsidi perumahan dari Kementerian Perumahan Rakyat
Tahun Anggaran 2007-2008 untuk proyek perumahan Griya Lawu Asri (GLA).
Pengadilan
Negeri Tipikor Semarang menjatuhkan hukuman enam tahun penjara ke Rina. Putusan
ini dikabulkan pda 29 April 2015. Tapi di tingkat kasasi, Hakim Agung Artidjo
Alkostar, bersama MS Lumme dan Krisna Harahap memperberat hukuman Rina menjadi
12 (dua belas) tahun penjara atau 2 (dua) tahun di atas tuntutan jaksa.
Pada
putusan itu, Hakim Agung Artidjo menyatakan dan merumuskan bahwa tindakan Rina
dikualifikasi sebagai korupsi politik yaitu korupsi yang dilakukan pejabat
publik dan uang hasil kejahatannya digunakan untuk kegiatan politik. Lebih
lanjut dikemukakan “… Terdakwa mempergunakan sebagian uang hasil korupsi sebesar
Rp 2,4 miliar untuk kepentingan pribadi, yaitu dibagikan kepada pengurus
politik pendukung terdakwa dalam rangka Pilkada 2008 sehingga perbuatan
terdakwa merupakan korupsi politik …”.
Berkaitan dengan tindak kejahatan yang dikualifikasi sebagai
‘korupsi politik’, Hakim Agung Artidjo juga menyatakan, mantan Presiden PKS
Luthfi Hasan Ishaaq LHI telah melakukan kejahatan ‘korupsi politik’, yaitu
suatu perbuatan yang dilakukan pejabat publik yang memegang kekuasaan politik
tetapi kekuasaan politik itu digunakan sebagai alat kejahatan sehingga
memperberat hukuman Luthfi menjadi 18 (delapan belas) tahun penjara.
Dalam
putusan tersebut dikemukakan “… Hubungan transaksional antara terdakwa yang
anggota badan kekuasaan legislatif dengan Maria Elizabeth Liman, pengusaha
impor daging sapi, merupakan korupsi politik karena dilakukan terdakwa yang
berada dalam posisi memegang kekuasaan politik sehingga merupakan kejahatan
yang serius (serious crimes) …”. Berdasarkan seluruh hal yang diuraikan
seperti tersebut di atas maka dapat dikemukakan 3 (tiga) hal penting, yaitu
sebagai berikut:
Pertama, tindakan yang dilakukan
berbagai pihak, seperti: Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Rani Iriani dan
Luthfi Hasan Ishaaq telah dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi dan keputusannya
telah tetap menurut hukum karena sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung.
Ada
pihak lainnya yang belum diperiksa di pengadilan tetapi di dalam dakwaan sudah
disebutkan dan tindakan kejahatan dilakukan secara bersama-sama maka kepada
mereka telah layak untuk dikualifikasi melakukan tindakan yang disebut
koruptif. Ada juga kasus dari Ariesman Widjaja dan Mohamad Sanusi yang proses
hukumnya di pengadilan sedang dilakukan tetapi belum selesai.
Karena
pengertian Korupsi menurut Fockema Andreae, berasal dari bahasa latin yaitu “corruptio
atau corruptus” atau dari kata asal “corrumpere“, yaitu suatu kata
dalam bahasa latin yang lebih tua dan turun ke bahasa Indonesia menjadi
korupsi; serta dipadankan dengan pengertian yang dirumuskan The Lexicon Webster
Dictionary, maka tindakan koruptif adalah tindakan yang bersifat kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Para
pihak yang sudah disebutkan di dalam dakwaan, rumusan dakwaannya telah diuji di
muka pengadilan dan para pihak itu dinyatakan telah menerima sesuatu yang
bertentangan dengan perundangan, kewajiban hukum serta kepatutan, para pihak
tersebut sudah dapat dikualifikasi telah melakukan suatu tindakan yang
dikualifikasi sebagai perbuatan korupsi.
Kedua, tindakan subyek hukum tersebut
di dalam poin pertama dilakukan oleh para pihak yang menjadi bagian dan punya
relasi dengan politik dalam berbagai aspeknya. Salah satunya, korupsi tersebut
dilakukan pejabat publik yang juga politisi dan sebagian uang hasil
kejahatannya digunakan untuk kegiatan politik. Pada konteks itu, mereka
menggunakan korporasi sebagai sarana dan prasarana kejahatan.
Pendeknya,
tindakan sebagian para pihak seperti tersebut di dalam butir pertama, juga
berkaitan dengan korporasi, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya
Permai Group, perusahaan itu secara faktual dijadikan dan menjadi sarana serta
prasarana kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Lebih dari
itu, perusahaan dimaksud juga melakukan tindakan lain yang merupakan bagian
dari kejahatan lainnya dengan menggunakan uang yang didapatkan dari hasil
kejahatan.
Ketiga, ada fakta kongkrit yang
tidak terbantahkan, korporasi yang dijadikan dan menjadi sarana serta prasarana
kejahatan dimaksud, secara hukum, tidak pernah dinyatakan sebagai perusahaan
pelaku kejahatan tindak pidana korupsi. Selama ini, di dalam pratik penegakan
hukum di Indonesia, sebagian besar kejahatan korupsi, pihak atau subyek hukum
yang dibawa dan diperiksa serta dihukum pengadilan hanyalah pelaku yang
mewakili korporasi atau sebagian pemiliknya saja.
Ketentuan
yang tersebut di dalam Pasal 1, Angka 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi, dimana ada frasa kata “setiap orang” yang artinya, setiap orang
adalah orang perseorangan dan juga termasuk korporasi belum diefektifkan dan
diaktifkan secara paripurna. Oleh karena itu, perusahaan Permai Group, PT Agung
Podomoro Land, PT. Adhi Karya, PT DGI, Dutasari Citra Laras, PT. Indoguna Utama
dan perusahaan lainnya yang terlibat di dalam tindak pidana korupsi masih terus
dapat bekerja dan beroperasi kendati secara faktual telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan para pemiliknya.
Fakta
ini hendak menegaskan, sebagian besar pelaku kejahatan, maksudnya, korporasi
yang terlibat maupun menjadi bagian dari kejahatan belum disentuh dan ditarik
menjadi pihak yang juga harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Pemerintahan
melalui lembaga dan aparatur penegakan hukumnya telah melakukan pembiaran
dengan sangat sempurna atas kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.
Itu sebabnya, KPK harus didorong
untuk segera mengaktualisasikan komitmennya dan kehendak kuatnya untuk membawa
kasus korporasi, khususnya, korporasi yang diduga terlibat melakukan tindak
pidana korupsi ke depan persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Fakta
bahwa korporasi belum dibawa ke pengadilan dapat dimaknai sebagai tindak pembiaran.
Di KPK ada sekitar 90% kasus korupsi yang ditanganinya berkaitan dan turut
melibatkan korporasi. Oleh Karena itu, KPK harus didorong untuk sesegera
mungkin menanganai penyuapan yang dilakukan korporasi untuk mendapatkan
sejumlah proyek negara atau memengaruhi kebijakan. Itu juga artinya, dugaan
kasus penyuapan yang dilakukan korporasi, yakni sebesar 50,9%, serta 28,7% di
antaranya adalah kasus Pengadaan Barang dan Jasa, dan 8,5% kasus penyalahgunaan
anggaran.
Salah
seorang Hakim Agung, Surya Jaya dalam diskusi bertajuk “Pertanggungjawaban dan
Pemidanaan Korporasi dalam Perkara Tipikor” menuyatakan “… korporasi seringkali
digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana, bahkan sampai dijadikan
tameng untuk melindungi hasil kejahatan yang dilakukan seorang pengurus
korporasi. Hampir setiap perkara korupsi yang dilakukan seseorang atas nama
perusahaan bertujuan untuk memperkaya dirinya sendiri …”.
Korupsi
korporasi sudah menjadi perhatian dari komunitas internasional. Setidaknya hal
ini dapat dilacak dari aturan yang dikemukakan secara eksplisit di dalam Pasal
UNCAC Tahun 2013 yang menyatakan “… Each State Party shall take measures, in
accordance with the fundamental principles of its domestic law, to prevent
corruption involving the private sector, enhance accounting and auditing
standards in the private sector and, where appropriate, provide effective,
proportionate and dissuasive civil, administrative or criminal penalties for
failure to comply with such measures …”.
Di
dalam pasal di atas, negara diwajibkan untuk mengambil tindakan untuk mencegah
korupsi yang melibatkan sektor swasta dan bahkan diminta memberikan sanksi,
baik perdata, administratif atau pidana yang efektif. Di bagian pasal lainnya,
juga diatur, tindak pidana korupsi oleh korporasi, yaitu: penyuapan di sektor
swasta dan penggelapan kekayaan di sektor swasta.
Di dalam kriminologi kejahatan,
semula dikenal kejahatan korporasi, baik yang dilakukan pihak yang mewakili
atau menjadi manajer di perusahaan maupun perusahaan itu sendiri. Di beberapa
referensi dikemukakan “… corporate crime refers to crimes committed either
by a corporation (i.e., a business entity having a separate legal personality
from the natural persons that manage its activities), or by individuals acting
on behalf of a corporation or other business entity …”.
Selain
itu, di berbagai ketentuan, terjadi apa disebut sebagai overlaps antara
kejahatan korporasi dengan white-collar crime, organize crime maupun state
corporate crime. Sebenarnya, di sisi lainnya, juga tidak bisa disebut
sebagai tumpang tindih karena di dalam kejahatan korporasi juga dapat terdapat
sifat dan karakter yang berkaitan dengan white-collar crime, organize crime maupun
state corporate crime.
Hal
ini disebabkan, sebagian besar pelaku kejahatan di korporasi adalah kalangan
profesional yang memang memiliki kemampuan mengorganisasikan kejahatan lebih
baik dan canggih ketimbang kejahatan yang dilakukan penjahat biasa,
misalnya: melalui pencucian uang. Hal serupa juga dengan state-corporate
crime karena di dalam banyak kasus, kejahatan terjadi karena adanya
kerjasama penyelenggara negara dengan pejabat korporasi yang disebutkan “…
in many contexts, the opportunity to commit crime emerges from the relationship
between the corporation and the state ...”.
Bahkan
ada pernyataan yang provokatif yang menyatakan “… there is evidence that the
private sector has as much responsibility in generating corruption as the
public sector … particular situations such as state capture can be very
damaging for the economy …”. Pada situasi seperti itu, indikasi bekerja
kekuatan oligarki menjadi menarik untuk diperhatikan.
Di
Amerika dan Inggris, kejahatan korporasi, termasuk di dalamnya korupsi di
korporasi menjadi salah satu fokus utama yang sangat diperhatikan. Oleh karena
itu, ada aturan yang sangat ketat yang mengatur hal dimaksud, khususnya pada
berbagai perusahaan besar yang operasinya mencakup level internasional.
Perusahaan dimaksud, diwajibkan untuk mencari partner bisnis yang juga
memperhatikan hal yang berkaitan dengan etik dan perilaku anti bribery.
Hal tersebut dikemukakan oleh Sullivan (John D Sullivan, 2011, 2) dengan
menyatakan:
In fact, legislation such as the U.S. Foreign Corrupt Practices
Act (FCPA) or the United Kingdom Bribery Act places legal responsibility on
large companies for the behavior of their suppliers and distributors in global
value chains. Enforcement of these laws is creating pressure for companies to
seek overseas business partners who share their commitment to anti-corruption.
It also removes deniability of wrongdoing at the C-suite level when a local
agent or supplier pays a bribe. Therefore, internal compliance becomes a key
element of the board’s approach to risk management.
Apa yang dikemukakan di atas
tidaklah berlebihan bila dilihat berbagai fakta kejahatan yang melibatkan
korporasi di berbagai negara tersebut. Daftar di bawah ini menjelaskan
kejahatan korporasi yang dilakukan di Amerika yang ditangani dengan menggunakan
FCPA di dalam pemerintahan Obama (Merrill, 2011, The Ten Largest Global
Business Corruption Cases), yaitu sebagai berikut:
Bilamana data di atas dikaitkan
dengan informasi lainnya, berkaitan dengan
indikasi adanya korupsi di dalam sistem keuangan di Amerika maka akan ditemukan
hal menarik. Merrill menuliskannya sebagai berikut “… if you ask most
Americans, they will agree that the financial system is corrupt. It is
generally assumed that just like most politicians, most big bankers are corrupt
by nature …”.
Dengan
demikian, kejahatan korporasi bukanlah sesuatu yang khas Indonesia tapi juga
terjadi di berbagai negara lainnya. Pada kejahatan itu, ditemukan relasi
indikasi korupsi yang dilakukan politisi dan pengusaha di dalam kejahatan
korporasi. Itu sebabnya, ada ketentuan hukum yang tegas dengan sanksi yang
sangat keras seperti diatur di US Foreign Corrupt Practice Act maupun United
Kingdom Bribery Act sebagai salah satu strategi untuk memberantas korupsi.
Berkaitan
dengan korupsi politik, Blechinger (Corruption and Political Parties 2002, )
menyebutkan ada 3 (tiga) jenis korupsi yang berkaitan dengan politik, yaitu
korupsi yang dilakukan: pertama, partai politik sebagai salah satu aktor kunci;
kedua, korupsi yang berkaitan dengan proses dan sistem pemilihan umum; dan
ketiga, korupsi yang terjadi karena adanya perselingkuhan kekuasaan dan bisnis.
Yakni, adanya persekongkolan antara politisi dengan pebisnis.
Berkaitan
dengan korupsi jenis ketiga di atas, Mark Philp (Conceptualizing Political
Corruption 2002, 42 & 51) menyatakan bahwa korupsi politik “… where
people break the rules, and do so knowingly, while subverting the public
interest in the search for private gain and the benefit of a third party, in
ways which runs directly counter to the accepted standards of practices within
the political culture …”.
Lebih
lanjut, Mark Philp menyatakan bahwa prasyarat untuk dapat sebagai perbuatan
korupsi politik, yaitu: pertama, dilakukan pejabat publik; kedua, merusak
kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh publik; ketiga, dilakukan dengan
mengeksploitasi jabatan publik untuk kepentingan pribadi, serta bertentangan
dengan regulasi dan standar etis perilaku pejabat publik dan budaya politik;
kelima, tindakannya menguntungkan pihak ketiga, salah satu caranya dengan
memfasilitasi sehingga pihak ketiga tersebut mempunyai akses terhadap kebijakan
dan kemudahan pelayanan yang tidak diperoleh orang lain. Sekali lagi, situasi
ini potensial menciptakan peluang terbentuknya oligarki politik-bisnis.
Pada banyak kasus korupsi
politik, acapkali dilakukan penyalahgunaan kewenangan yang bersifat diskresi.
Itu sebabnya, tindakan tersebut biasa disebut sebagai discritionery
corruption Karena memanipulasi kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan
sehingga seolah nampaknya bersifat sah tetapi sesungguhnya tidak legitimated.
Di dalam bentuk yang sudah akut dan dilakukan secara sistematis dan terstruktur
kelompok kekuasaan maka tindak korupsi yang terjadi biasa disebut sebagai ideological
corruption yaitu suatu jenis korupsi ilegal maupun discretionary yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok dan dilakukan secara terorganisir
dengan kelompok dimaksud.
KESIMPULAN
Berdasarkan
seluruh uraian di atas, ada beberapa hal penting lain yang dapat dilihat dalam
kaitannya dengan korupsi korporasi dan korupsi politik, yaitu antara lain
sebagai berikut:
Pertama,
korupsi korporasi dan korupsi politik acapkali berkaitan satu dan lainnya.
Bahkan, seolah ada relasi yang tak terpisahkan satu dan lainnya. Berbagai
contoh yang diajukan di dalam pembahasan di atas menunjukan hal tersebut;
Kedua,
di dalam korupsi korporasi, pelakunya bisa saja hanya berasal dari korporasi
dimaksud saja tetapi juga dapat terjadi, adanya kerjasama diantara
penyelenggara negara dengan kalangan korporasi. Di dalam contoh lainnya,
penyelenggara negara tertentu yang juga memiliki atau sebagai pemegang saham
dari suatu korporasi.
Ketiga,
pada konteks di atas, pihak yang menjadi bagian dari lembaga dan kepentingan
kekuasaan dana atau kepentingan politik tertentu memanfaatkan atau
menyalahgunakan, akses dan otoritas yang dimiliknya dengan menggunakan
korporasi yang ada dalam kendalinya atau menjadi bagian dari kepentingannya.
Pendeknya, di dalam praktiknya, para pemegang mandat kekuasaan, acapkali
menggunakan korporasi seperti telah diuraikan di atas, baik secara langsung
yang ada di bawah kendalinya atau secara tidak langsung bekerja bersama
digunakan sebagai sarana dan prasarana untuk melakukan kejahatan.
Keempat,
juga dapat terjadi, sedari awal, ada persekutuan atau sindikasi antara tindak
korupsi korporasi dan korupsi politik yang melibatkan pihak yang memegang dan
memiliki otoritas dan kewenangan yang melekat pada jabatan politik tertentu
dengan pihak yang mewakili kepentingan korporasi untuk secara bersama
memanfaatkan, mengeksploitasi atau menyalahgunakan sumber daya publik yang berasal
dari keuangan negara untuk kepentingan privat dan kelompoknya sendiri.
Kelima,
kini, ada indikasi, persilangan kepentingan antara korporasi, penyelenggara
negara dan politisi dan korupsi politik tidak menggunakan keuangan negara
secara langsung sehingga sulit dibuktikan adanya unsur kerugian keuangan
negara. Pada kasus tertentu, dana yang digunakan berasal dari korporasi dan
ditujukan untuk “membeli” otoritas yang dimiliki oleh penyelenggaraan negara.
Pada konteks ini, korporasi dengan kekuatan kapitalnya dapat mendikte hingga
menguasai kepentingannya sehingga terjadilah apa disebut sebagai capital and
corporate driven atas berbagai proyek yang tidak ditujukan untuk
kepentingan publik.
Penegak
hukum mengalami kegagapan untuk dapat menangani dan masuk di dalam kasus
ini karena sifat kasusnya menjadi beyond the law. Pada kasus ini,
pemilik otoritas “menggadaikan” kewenangannya atau memanfaatkan kewenangannya
untuk kepentingan pemilik kapital yang telah “membayarnya”, bisa saja secara
tidak langsung. Pendeknya, kebijakan untuk kepentingan publik telah “dibajak”
oleh kepentingan korporasi tetapi menggunakan dalih untuk dan atas nama
kepentingan rakyat dan pembangunan
Keenam,
besaran dampak dan kerugian pada jenis korupsi korporasi yang bersekutu atau
berselingkuh dengan korupsi politik bisa sangat besar sekali. Sangat mungkin
terjadi, kapitalisasi dan eksploitasi keuntungan yang dahsyat luar biasa.
Secara langsung, seolah, tidak merugikan keuangan negara tetapi sesungguhnya
kemaslahatan publik akan sangat dirugikan sekali karena corporate driven mengejar
kapitalisasi profit dan acapkali menegasikan dan mendelegitimasi kepentingan
rakyat, khususnya, rakyat kecil kebanyakan dan kaum dhuafa.
Ketujuh,
persekutuan dan perselingkuhan korupsi politik dan korupsi korporasi kerap
dilakukan dengan membangun kebijakan tertentu yang berpihak dan mempunyai favoritism
dan menguntungkan kepentingan dari korporasi tertentu yang sudah membiayai
dan membeli otorits kekuasaan dari penyelenggaraan negara.
Kesemuanya itu ditujukan untuk
mendelegitimasi terjadinya unsur menyalahgunakan kewenangan atau perbuatan
melawan hukum karena semua peraturan hukum dibuat dirancang untuk melegitimasi
penyalahgunaan. Legal tapi tidak legimated atau legal tapi tidak
berbasis pada kepentingan kemaslahatan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Blechinger, Verena, 2002,
Corruption and Political Parties, Presentation USAID MSI, Management Systems
International
Fockema Andreae, Kamus
Hukum Belanda Indonesia, Bina Cipta, 1983
John D Sullivan PhD., The
Role of Corporate Governance in Figthing of Corruption, 2011
Philp, Mark, 2002,
“Conceptualizing Political Corruption”, dalam Heidenheimer, Arnold J. &
Johnston, Michael (eds), Political Corruption: A Hand Book, Third Edition,
Transaction Publisher: New Jersey
Mahkamah Agung, Putusan
No. 1261 K/Pid.Sus/2015
Mahkamah Agung, Putusan
No. 2223 K/Pid.Sus/20012
United Nation Convention
Against Corruption Tahun 2013
Undang No. 31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi
Undang Undang No. 20 tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
Undang Undang No. 30 tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang Undang No. 7 Tahun
2006 tentang Ratifikasi UNCAC 2003
http://www.thefiscaltimes.com/Articles/2011/12/13/The-Ten-
Largest-Global-Business-Corruption-Cases by Merrill Goozner, The Fiscal Times,
December 13, 2011
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/14/063762580/terkuak-aguan-diduga-dalang
suap-reklamasi-ini-buktinya
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/07/30/1320464/
Korporasi.yang.Terlibat.Korupsi.Kerap.Tak.Tersentuh.Hukum
http://jateng.tribunnews.com/2016/08/11/kpk-perusahaan-bisa-jadi-tersangka-korupsi
http://kbr.id/08-2016/ketua_kpk__akan_ada_korporasi_jadi_
tersangka_korupsi/83938.html