Wednesday, April 12, 2017

Memaknai Belis Sebagai Bagian Adat Istiadat

Mahar atau mas kawin atau yang dikenal di Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya sebagai "belis" adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. Istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar atau mas kawin atau belis adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan.

Secara antropologi, mahar atau mas kawin atau belis seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok.




Meskipun tidak ada sumber resmi yang menyebutkan secara jelas, berdasarkan penelusuran di https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mahar, budaya mahar atau mas kawin atau belis dipercaya sudah ada sejak zaman purbakala seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Penemuan tertua yang mengatur tentang tata cara pemberian mahar atau mas kawin atau belis tercatat pada piagam Hammurabi yang menyebutkan:

  •  Seorang laki-laki yang telah memberikan mahar kepada seorang mempelai wanita, namun mempersunting wanita lain tidak berhak mendapat pengembalian atas mahar yang telah diberikannya. Apabila ayah dari mempelai wanita menolak menikahkan maka laki-laki tersebut berhak atas pengembalian mahar yang telah diberikannya.
  • Jika seorang istri meninggal tanpa sempat melahirkan seorang anak laki-laki,ayah dari istri tersebut harus memberikan mahar sebagai denda kepada pihak laki-laki, setelah dikurangi nilai dari mahar yang diberikan pihak laki-laki.

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Belis sebagai bagian dari adat sangat mendominasi dalam sebuah proses perkawinan. Tapi sekarang ini belis di lihat sebagai ”prestise” bagi sebagian orang.

Mengapa bisa menjadi demikian?? Ini tentu saja dipengaruhi oleh pemikiran sekarang ini bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula harga belis yang harus dibayarkan. Disatu sisi belis yang besar kadang menimbulkan efek negatif yang besar pula. Beban utang yang terkadang harus ditanggung dan yang lebih parah adalah beban mental.

Kisah Nando dan Thomas pada berita di media online Merdeka.com (https://m.merdeka.com/peristiwa/tradisi-belis-budaya-mencekik-leher-warga-ntt.html) mungkin dapat menjadi referensi bagi para orang tua sekarang ini untuk dapat kembali memaknai artian belis yang sesungguhnya di masa sekarang ini.

Dalam berita di media online Merdeka.com ( https://m.merdeka.com/peristiwa/tradisi-belis-budaya-mencekik-leher-warga-ntt.html) diceritakan bahwa pengeluhan terhadap besaran nilai dari belis menjadi satu beban berat yang pada akhirnya menjerat kembali kepada salah satu calon pengantin.

Oleh karena itu belis sebagai suatu bagian dari adat istiadat harus perlu ditata ulang agar nantinya tidak menjadi beban berat bagi kaum muda-mudi yang ingin melaksanakan pernikahan dan bukan hanya penataan ulang, tapi logika dari nilai belis itu sendiri perlu diluruskan sekaligus menjawab apa esensi di balik harga belis itu sendiri.

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

Museum Daerah 1000 Moko Kabupaten Alor

Jika anda mengunjungi Kabupaten Alor, khusunya Kota Kalabahi, belum lengkap rasanya jika belum menyinggahi Museum Daerah Alor " Museum ...